Sekilas Tentang PPN dan PPn BM
PPN & PPn BM
Dasar Hukum
UU Nomor dan Tahun
|
Mulai Berlaku
|
8 Tahun 1983
11 Tahun 1994
18 Tahun 2000
42 Tahun 2009
|
1 Juli 1984
1 Januari 1995
1 Januari 2001
1 April 2010
|
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Namun belum banyak
yang mengenal filosofi di balik pengenaan PPN.
Ditinjau dari ilmu
perpajakan PPN termasuk dalam kategori: (1) pajak objektif, (2) pajak atas
konsumsi umum dalam negeri, dan (3) pajak tidak langsung.
Menurut
pakar PPN, Untung Sukardji, pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang
saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang
disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan,
peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut
dengan objek pajak. PPN sebagai pajak objektif dapat diartikan sebagai
kewajiban membayar pajak oleh konsumen yang terdiri atas orang pribadi atau
badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat penghasilan tertentu. Siapapun yang
mengonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPN, akan diperlakukan sama
dan wajib membayar PPN atas konsumsi barang atau jasa tersebut.
Subjek
pajak dalam
pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul beban
pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan
untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan membayar pajak.
Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak
maka terhadap konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak yang sama.
Hal
ini berbeda dengan pajak subjektif, seperti Pajak
Penghasilan (PPh), yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban
pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Contohnya,
tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh bagi Badan. Demikian pula
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah dan memiliki tanggungan
anak berbeda dengan OP yang belum menikah.
PPN Sebagai Pajak atas
Konsumsi Umum Dalam Negeri
Di samping sebagai
pajak objektif, PPN di Indonesia termasuk dalam kategori pajak atas konsumsi.
Ditinjau dari hukum perpajakan, pajak atas konsumsi adalah pajak yang timbul
akibat suatu peristiwa hukum yang menjadi beban konsumen baik secara yuridis
maupun ekonomis. Maksudnya, yang dikenai pajak adalah barang-barang atau jasa
yang dikonsumsi, bukan barang-barang dalam proses produksi, dan ditujukan pada
konsumen akhir. Selama barang-barang itu masih dalam siklus produksi atau
distribusi, pengenaan PPN pada area itu bersifat sementara yang dapat dibebankan
kepada pembeli berikutnya, melalui mekanisme pengkreditan pajak masukan. Dalam
penjelasan atas Undang-undang PPN, ditegaskan bahwa PPN adalah pajak atas
konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean yang dikenakan secara
bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi.
PPN Sebagai Pajak Tidak
Langsung
Selanjutnya,
selain sebagai pajak objektif dan pajak atas konsumsi, PPN juga termasuk Pajak
Tidak Langsung. Sebagai Pajak Tidak Langsung, beban pembayaran pajaknya dipikul
oleh konsumen, namun penanggung jawab atas penyetoran PPN ke Kas Negara
dibebankan kepada penjual. Dengan kata lain dalam mekanisme pemungutan PPN,
pemikul beban pembayaran PPN dan penanggungjawab penyetoran PPN ke Kas Negara
adalah pihak yang berbeda. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh penjual,
digunakan sebagai bukti pungutan atas PPN terutang, ketika menjual Barang Kena
Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pembeli atau penerima BKP atau
JKP. Selanjutnya penjual wajib menyetorkan setiap PPN yang dipungut dalam setiap
Masa Pajak ke Kas Negara. Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar PPN
terutang yang tercantum dalam faktur
pajak kepada
penjual. Faktur pajak itu bagi pembeli adalah bukti pembayaran pajak. Hal ini
beda dengan mekanisme penarikan Pajak Langsung seperti PPh, dimana orang
pribadi atau badan sebagai pemikul beban pembayaran pajak juga dibebani
tanggung jawab atas penyetorannya ke Kas Negara.
Saat
ini, PPN memiliki peranan yang strategis dan signifikan dalam porsi penerimaan
negara dari sektor perpajakan. Penerimaan PPN pada tahun 2010 adalah sebesar
Rp.230,605 triliun, naik menjadi Rp.298,441 triliun pada tahun 2011, dan
ditargetkan menjadi Rp.350,343 triliun di tahun 2012 ini, atau 34% dari total
target penerimaan pajak tahun 2012 sebesar Rp.1.019,333 triliun. Pemerintah
terus berupaya mencegah kebocoran penerimaan pajak dari sektor PPN, diantaranya
dengan menerbitkan aturan Registrasi
Ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP) di tahun 2012 ini. Kebijakan ini diarahkan untuk
mencegah penerbitan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang
sebenarnya oleh PKP yang tidak
bertanggungjawab. Hingga saat ini, Ditjen Pajak telah mencabut status
pengukuhan PKP terhadap 202.132 perusahaan. Dengan kebijakan tersebut,
diharapkan masyarakat lebih sadar, peduli serta mendukung target penerimaan
pajak demi kelangsungan pembangunan nasional dan penyelenggaraan negara. Bangga
bayar Pajak!
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
Dalam Undang-undang PPN 1984, sebenarnya terdapat dua jenis pajak
yang dicakup yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan yang kedua adalah Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Kedua jenis pajak ini masuk ke dalam jenis
pajak konsumsi dan memiliki legal karakter yang hampir sama. Mungkin
karena itu kedua jenis pajak tersebut diatur dalam satu Undang-undang.
Berdeda dengan PPN yang dikenakan pada setiap mata rantai produksi
dan distribusi, PPnBM hanya dikenakan satu kali saja yaitu pada saat impor atau
pada saat penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah oleh
Pengusaha Kena Pajak pabrikan BKP tersebut. Tidak semua Barang Kena Pajak
juga menjadi objek pengenaan PPnBM. Hanya Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah saja yang akan dikenai PPnBM.
Salah satu ciri pengenaan PPN adalah bahwa PPN berdampak regresif.
Sifat regresif ini artinya bahwa orang yang berpenghasilan rendah dan orang
yang berpenghasilan tinggi sama saja besar PPNnya apabila mengkonsumsi barang
yang sama. Namun demikian, orang berpenghasilan rendah menanggung beban pajak
yang lebih besar bila besarnya PPN dibandingkan dengan penghasilannya. Nah,
untuk mengimbanginya, dikenakanlah PPnBM atas barang-barang tertentu yang pada
umumnya dikonsumsi oleh kalangan berpenghasilan tinggi. Akhirnya dampak
regresif PPN bisa dikurangi dengan pengenaan PPnBM.
Berikut ini adalah ketentuan tentang PPnBM dalam Undang-undang PPN
1984.
Objek PPn BM
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPN 1984, terdapat dua
jenis objek PPnBM, yaitu:
- penyerahan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya; dan
- impor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Pertimbangan pengenaan PPnBM ini, sebagaimana dinyatakan dalam
penjelasannya adalah:
- perlu
keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah
dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
- perlu
adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah;
- perlu
adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan
- perlu
untuk mengamankan penerimaan negara.
Perhatikan bahwa pertimbangan dikenakannya PPnBM ini lebih kepada
fungsi mengatur dari pajak (regulerend) dari pada fungsi penerimaannya
(budgetair).
Pengenaan PPnBM terhadap suatu penyerahan BKP yang tergolong mewah
oleh PKP pabrikan atau produsen tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari
BKP tersebut telah dikenai atau tidak dikenai PPnBM pada transaksi sebelumnya.
Jadi, bisa saja dalam BKP mewah yang diproduksi terdapat unsur bahan baku yang
juga telah dikenakan PPnBM.
Dalam hal impor, Pengenaan PPnBM atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak
tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara
terus-menerus atau hanya sekali saja.
BKP Tergolong Mewah
Seperti yang telah saja jelaskan di atas, tidak semua BKP
merupakan objek pengenaan PPnBM. Hanya BKP yang tergolong mewahlah yang akan
menjadi objek pengenaan PPnBM. Nah, penjelasan Pasal 5 ayat 1 UU PPN 1984 juga
menegaskan apa yang dimaksud adengan BKP yang tergolong mewah itu, yaitu:
- barang
yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
- barang
yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
- barang
yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi;
dan/atau
- barang
yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
Tarif PPn BM
Tidak seperti PPN yang hanya memiliki satu tarif (10%), PPnBM
memiliki beberapa jenis tarif sesuai dengan kelompok dan jenis BKP yang
tergolong mewah. Pasal 8 ayat (1) UU PPN 1984 menegaskan bahwa tarif PPnBM
dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok tarif dengan tarif paling rendah 10%
dan paling tinggi 200%. Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada
pengelompokan BKP yang tergolong mewah yang dikenai PPnBM.
Sama dengan PPN, atas ekspor BKP yang tergolong mewah ini juga
dikenakan tarif 0%. Pengenaan tarif 0% ini disebabkan PPnBM adalah pajak yang
dikenakan atas konsumsi BKP yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean
sehingga BKP yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah
Pabean dikenai PPnBM dengan tarif 0%. Dengan demikian, PPnBM yang telah dibayar
atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor tersebut
dapat diminta kembali.
Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dan tarifnya
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sementara itu jenis BKP yang
tergolong mewah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pengelompokan barang-barang yang dikenai PPnBM terutama didasarkan
pada tingkat kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan barang tersebut,
di samping didasarkan pada nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya.
Sehubungan dengan hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap barang yang hanya
dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Dalam hal terhadap
barang yang dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenai PPnBM, tarif yang
dipergunakan adalah tarif yang rendah. Pengelompokan barang yang dikenai PPnBM
dilakukan setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan DPR yang membidangi
keuangan.
Penghitungan PPn BM
Besarnya PPnBM yang terutang dan harus dipungut oleh PKP pabrikan
atau imortir BKP mewah adalah sebesar tarif PPnBM dikalikan Dasar Pengenaan
Pajak (DPP). DPP PPnBM adalah sama dengan DPP untuk PPN, yaitu sebesar Harga
Jual, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai lain yang diatur Peraturan Menteri
Keuangan.[1]
Berbeda dengan PPN yang mengenal sistem pengkreditan, PPnBM tidak
mengenal istilah pengkreditan. PPnBM yang sudah dibayar pada waktu perolehan
atau impor BKP Yang Tergolong Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan PPN maupun
PPnBM yang dipungut. Dengan demikian, PPnBM bukan merupakan Pajak Masukan
sehingga tidak dapat dikreditkan. Oleh karena itu, PPnBM dapat ditambahkan ke
dalam harga Barang Kena Pajak yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya
sesuai ketentuan perundang-undangan Pajak Penghasilan.
Berikut ini adalah contoh yang diberikan oleh Undang-undang PPN
1984.
Pengusaha Kena Pajak “A” mengimpor BKP dengan Nilai Impor
Rp5.000.000,00. BKP tersebut, selain dikenakan PPN, misalnya juga dikenakan
PPnBM dengan tarif 20%. Dengan demikian, penghitungan PPN dan PPnBM yang
terutang atas impor Barang Kena Pajak tersebut adalah:
- Dasar
Pengenaan Pajak = Rp5.000.000,00
- PPN
: 10% x Rp5.000.000,00 = Rp500.000,00
- Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah : 20% x Rp5.000.000,00 = Rp1.000.000,00
Kemudian, Pengusaha Kena Pajak “A” menggunakan Barang Kena Pajak
tersebut sebagai bagian dari suatu Barang Kena Pajak lain yang atas
penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai 10% dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah 35%. Oleh karena Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah
dibayar atas Barang Kena Pajak yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan,
maka Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan
ke dalam harga Barang Kena Pajak yang dihasilkan oleh Pengusaha Kena Pajak “A”
atau dibebankan sebagai biaya.
Kemudian, Pengusaha Kena Pajak “A” menjual Barang Kena Pajak yang
dihasilkannya kepada Pengusaha Kena Pajak “B” dengan Harga Jual
Rp50.000.000,00. Maka, penghitungan PPN dan Pajak PPnBM yang terutang adalah:
- Dasar
Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
- PPN
: 10% x Rp50.000.000,00 = Rp5.000.000,00
- PPnBM:
35% x Rp50.000.000,00 = Rp17.500.000,00
Dalam contoh ini, Pengusaha Kena Pajak “A” dapat mengkreditkan PPN
sebesar Rp500.000,00 di atas terhadap Pajak Pertambahan Nilai sebesar
Rp5.000.000,00.
Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan,
baik dengan PPN sebesar Rp5.000.000,00 maupun dengan PPnBMsebesar
Rp17.500.000,00.
Apabila terjadi ekspor BKP yang tergolong mewah, Pengusaha Kena
Pajak yang telah membayar PPnBM pada saat perolehan BKP Yang Tergolong Mewah,
sepanjang PPnBM tersebut belum dibebankan sebagai biaya, Pengusaha Kena Pajak
berhak meminta kembali PPnBM yang dibayarnya, apabila Pengusaha Kena Pajak
dimaksud telah mengekspor BKP Yang Tergolong Mewah tersebut.
Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM)
PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Tarif PPN dan PPn BM
1. Tarif PPN adalah 10%
(sepuluh persen).
2. Tarif PPN sebesar 0%
(sepuluh persen) diterapkan atas:
·
ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;
·
ekspor BKP Tidak Berwujud; dan
·
ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif PPnBM adalah
paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
4. Tarif PPnBM atas
ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0% (nol persen).
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang
dipakai untuk menghitung pajak yang terutang, berupa: Jumlah Harga Jual,
Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
1. Harga Jual adalah
nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang
dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
2. Penggantian adalah
nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP),ekspor Jasa Kena Pajak,
atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang
dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh
penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
3. Nilai Impor adalah
nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan
lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut Undang-Undang PPN.
4. Nilai Ekspor adalah
nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh eksportir.
5. Nilai lain adalah
nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut :
1. untuk pemakaian
sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi
laba kotor;
2. untuk pemberian
cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi
laba kotor;
3. untuk penyerahan media
rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
4. untuk penyerahan film
cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
5. untuk penyerahan
produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
6. untuk Barang Kena
Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah
harga pasar wajar;
7. untuk penyerahan
Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga
perolehan;
8. untuk penyerahan
Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;
9. untuk penyerahan jasa
pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau
jumlah yang seharusnya ditagih; atau
10. untuk penyerahan jasa
biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Contoh Penghitungan PPN dan PPn BM
1. PKP “A” menjual tunai
Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,-
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang= 10% x Rp25.000.000,-= Rp2.500.000,-
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang= 10% x Rp25.000.000,-= Rp2.500.000,-
2. PPN sebesar
Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak “A”.
3. PKP “B” melakukan
penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian sebesar Rp20.000.000,-
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”= 10% x Rp20.000.000,-= Rp
2.000.000,- PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “B”.
4. Seseorang mengimpor
Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor sebesar
Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai =
10% x Rp15.000.000,- = Rp 1.500.000,-
5. Pengusaha Kena Pajak
“D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai Impor sebesar
Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain dikenai
PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah:
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah:
a.
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
b.
PPN = 10% x Rp5.000.000,-= Rp500.000,-
c.
PPn BM = 20% x Rp5.000.000,-= Rp1.000.000,-
6. Kemudian PKP “D”
menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu BKP yang atas
penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya 35%.
Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,- dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang adalah :
a.
Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,-
b.
PPN = 10% x Rp50.000.000,-= Rp5.000.000,-
c.
PPn BM = 35% x Rp50.000.000,-= Rp17.500.000,-
PPN sebesar Rp500.000,- yang dibayar pada saat
impor merupakan pajak masukan bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,-
merupakan pajak keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,-
tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp17.500.000,- tidak
dapat dikreditkan oleh PKP “X”.
Artikelnya bagus dan cukup mudah dipahami.
BalasHapusTahukah di tahun 2020 ini ada peraturan baru terkait dikenakannya PPN atas produk dan jasa digital.
Yang terangkum dalam artikel berikut :
http://www.krishandsoftware.com/blog/428/pmk-no-48-tahun-2020/