Laboratorium Pajak Daerah

 

                   LABORATORIUM  PAJAK  DAERAH

 By. Fauzi Atan, SE, MM, Ak

 

Pengertian dan Fungsi Pajak Daerah

Sebagai salahsatu komponen penerimaan PAD, potensi pungutan pajak daerah lebih banyak memberikan peluang bagi daerah untuk dimobilisasi secara maksimal bila dibandingkan dengan komponen-komponen penerimaan PAD lainnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, terutama karena potensi pungutan pajak daerah mempunyai sifat dan karakteristik yang jelas, baik ditinjau dari tataran teoritis, kebijakan, maupun dalam tataran implementasinya.

 

Pengertian Pajak Daerah

Definisi atau pengertian pajak menurut Mardiasmo (2009) mengatakan bahwa: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

Sedangkan pengertian Pajak menurut Abut (2007) menyatakan bahwa: “Pajak merupakan iuran kepada negara, yang dapat dipaksakan dan terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk,dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

Dari beberapa pengertian pajak tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan iuran wajib dari rakyat kepada negara sebagai wujud peranserta dalam pembangunan, yang pengenaannya didasarkan pada undang-undang dan tidak mendapat imbalan secara langsung, serta dapat dipaksakan kepada mereka yang melanggarnya.

Sejalan dengan penjelasan diatas, UU N0. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, sebagai pengganti dari UU N0. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000 juga lebih mempertegas pengertian pajak dalam tataran pemerintahan yang lebih rendah (daerah), sebagai berikut : “Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalansecara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

 

Fungsi Pajak Daerah.

sebagaimana halnya dengan pajak pusat, pajak daerah mempunyai peran penting dalam pelaksanaan fungsi negara/pemerintahan, baik dalam fungsi mengatur (regulatory), penerimaan (budgetory), redistribusi (redistributive), dan alokasi sumber daya (resource allocation) maupun kombinasi antara keempatnya.

Pada umumnya fungsi pajak daerah lebih diarahkan untuk alokasi sumber daya dalam rangka penyediaan pelayanan kepada masyarakat, di samping fungsi regulasi untuk pengendalian. Sesuai dengan fungsinya, fungsi pajak daerah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) fungsi utama  yaitu :        fungsi budgetory dan fungsi regulatory,

Namun, pembedaan ini tidaklah dikotomis.

1.       Fungsi Penerimaan (Budgetair) Fungsi yang paling utama dari pajak daerah adalah untuk mengisi kas daerah. Fungsi ini disebut fungsi budgetairyang secara sederhana dapat diartikan sebagai alat pemerintah daerah untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk berbagai kepentingan pembiayaan pembangunan daerah. Fungsi ini juga tercermin dalam prinsip efisiensi yang menghendaki pemasukan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya dari suatu penyelenggaraan pemungutan pajak daerah.

 2. Fungsi Pengaturan (Regulerend) Fungsi lain dari pajak daerah adalah untuk mengatur atau regulerend. Dalam hal ini pajak daerah dapat digunakan oleh pemerintah daerah sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.Dalam hal ini, pengenaan pajak daerah dapat dilakukan untuk mempengaruhi tingkat konsumsi dari barang dan jasa tertentu.

Dalam banyak hal, pemungutan pajak daerah ditujukan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Terlebih-lebih di era otonomi daerah, dimana kebutuhan dana untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan daerah cukup besar, sementara sumber-sumber pendanaan yang tersedia sangat terbatas. Daerah dipacu untuk secara kreatif menciptakan sumber-sumber pendapatan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah.

Fungsi pengaturan dari pajak daerah dapat dilakukan dengan mengenakan pajak daerah yang tinggi terhadap kegiatan masyarakat yang kurang dibutuhkan. Sebaliknya, untuk kegiatan prioritas yang memberikan dampak positif bagi pengembangan ekonomi masyarakat dikenakan pajak daerah yang rendah.

Dalam berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan, peningkatan pendapatan asli daerah (yang di dalamnya termasuk pajak daerah) seolah-olah terkait secara langsung dengan kinerja pemerintah daerah. Peningkatan pendapatan asli daerah kadangkala digunakan sebagai indikator keberhasilan daerah.  Hal ini mendorong pemerintah daerah berusaha menciptakan berbagai jenis pajak daerah yang berdasarkan pemahaman pemerintahan daerah dapat meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa mempertimbangkan dampak dari pengenaan pajak tersebut bagi masyarakat dan bagi kelangsungan kegiatan ekonomi di daerahnya.

Fungsi pengaturan dari pajak daerah belum banyak dimanfaatkan oleh daerah. Beberapa daerah memang sudah mengakomodir fungsi pendapatan dan fungsi pengaturan dalam perumusan kebijakan pajak daerah, antara lain melalui penerapan tarif yang berbeda antar golongan masyarakat. Kebijakan ini dapat membantu golongan masyarakat tertentu dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, namun belum memberikan dampak positif yang signifikan bagi pengembangan ekonomi. Langkah yang belum banyak dipertimbangkan oleh daerah adalah pemberian insentif pajak daerah dalam rangka menarik investasi di daerahnya.

 

Prinsip-Prinsip Pajak Daerah

Suatu pajak daerah harus memenuhi beberapa prinsip umum, sehingga pemungutannya dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Dari sejumlah prinsip yang umum digunakan di bidang perpajakan, di bawah ini diuraikan beberapa prinsip pokok dari suatu pajak yang baik, antara lain :

1.       Prinsip keadilan (Equity).

Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan kemampuan masing-masing subjek pajak daerah. Yang dimaksud dengan keseimbangan atas kemampuan subjek pajak adalah dalam pemungutan pajak tidak ada diskriminasi di antara sesama wajib pajak yang memiliki kemampuan yang sama. Pemungutan pajak yang dilakukan terhadap semua subjek pajak harus sesuai dengan batas kemampuan masing-masing, sehingga dalam prinsip equity ini setiap masyarakat yang dengan kemampuan yang sama dikenai pajak yang sama dan masyarakat yang memiliki kemampuan yang berbeda memberikan kontribusi yang berbeda sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

 2.       Prinsip Kepastian (Certainty).

Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya kepastian, baik bagi aparaturpemungut maupun wajib pajak. Kepastian di bidang pajak daerah antara lain mencakup dasar hukum yang mengaturnya; kepastian mengenai subjek, objek, tarif dan dasar pengenaannya; serta kepastian mengenai tata cara pemungutannya. Adanya kepastian akan menjamin setiap orang untuk tidak ragu-ragu dalam menjalankan kewajiban membayar pajak daerah, karena segala sesuatunya diatur secara jelas.

 3.      Prinsip Kemudahan (Convenience).

Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi wajib pajak daerah dalam memenuhi kewajibannya. Pemungutan pajak daerah sebaiknya dilakukan pada saat wajib pajak daerah menerima penghasilan. Dalam hal ini negara tidak mungkin melaksanakan pemungutan pajak daerah jika masyarakat tidak mempunyai kekuatan untuk membayar.Bahkan daerah seharusnya memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada masyarakat untuk memperoleh peningkatan pendapatan, dan setelah itu mereka layak memberikan kontribusi kepada daerah dalam bentuk pajak daerah.

 4.       Prinsip efisiensi (Efficiency).

Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut. Dalam prinsip ini terkandung pengertian bahwa pemungutan pajak daerah sebaiknya memperhatikan mekanisme yang dapat mendatangkan pemasukan pajak yang sebesar-besarnya dan biaya yang sekecil-kecilnya.

Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah :

1.    Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, yang berarti perbandingan antara Penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.

 2.  Relatif stabil, artinya penerimaan pajak tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam.

 3.     Basis pajaknya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).

 

Kriteria Pajak Daerah.

Ada beberapa kriteria mengenai pajak daerah :

1.     Pungutan bersifat pajak dan bukan retribusi.Pungutan tersebut harus sesuai definisi pajak yang ditetapkan dalamundang-undang, yaitu merupakan kontribusi wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah :

·  tanpa imbalan langsung yang seimbang.

·  dapat dipaksakan berdasarkan perundang-undangan dan.

· digunakan untuk   membiayai   penyelenggaraan   pemerintahan    dan  pembangunan daerah.

 2.  Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas cukup rendah, serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

 3.    Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum.Pajak ditujukan untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketentraman dan kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan.

 4.     Potensi pajak memadai, artinya hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari biaya pemungutan.

 5.     Objek Pajak bukan merupakan objek pajak pusat.

Jenis pajak yang bertentangan dengan kriteria ini, antara lain adalah pajak ganda (double tax), yaitu pajak dengan objek dan/atau dasar pengenaan yang tumpang tindih dengan objek dan/atau dasar pengenaan pajak lain yang sebagian atau seluruh hasilnya diterima oleh daerah.

 6.    Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.Pajak tidak mengganggu alokasi sumber ekonomi dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi antardaerah maupun kegiatan ekspor-impor.

 7.      Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.Aspek keadilan, antara lain :

 ·  objek dan subjek pajak harus jelas sehingga dapat diawasi.

·  pemungutannya.

·  jumlah pembayaran pajak dapat diperkirakan oleh wajib pajak.

·  tarif pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan wajib pajak.

 8.  Aspek kemampuan masyarakat.Pajak memperhatikan kemampuan subjek pajak untuk memikul tambahan beban pajak, sehingga sebagian besar dari beban pajak tersebut tidak dipikul oleh masyarakat yang relatif kurang mampu.

 9.    Menjaga kelestarian lingkungan.Pajak harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak memberikan peluang kepada daerah atau pusat atau masyarakat luas untuk merusak lingkungan.

Kriteria Memilih Pajak Daerah dalam mempertimbangkan pemungutan suatu pajak daerah, ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan, utamanya yield atau hasil yang diperkirakan dapat diperoleh dan pemenuhan unsur-unsur keadilan.

1.       Kecukupan : hasil dari pajak harus sesuai dengan pengeluaran yang akan dibiayai. Beberapa pajak yang memberikan hasil kecil cenderung tidak efisien dan menciptakan resistensi dari wajib pajak.

2.      Kepastian dan dapat diprediksi: hasil dari pajak sebaiknya tidak mengalami fluktuasi yang besar dari tahun ke tahun, karena hal tersebut menyulitkan dalam perencanaan pengeluaran. Beberapa pajak atas produksi hasil pertanian kemungkinan sulit untuk diprediksi karena faktor iklim yang tidak menentu.

 3.     Elastisitas : idealnya, hasil dari pajak sebaiknya meningkat secara otomatis seiring dengan inflasi, pertumbuhan populasi dan meningkatnya pendapatan. Pajak penghasilan progresif elastis terhadap ketiga hal tersebut, sementara “poll tax” hanya elastis terhadap populasi dan tidak kepada dua aspek yang lain. Pajak “ad valorem” (yaitu, persentase pajak dari nilai objek pajak akan jauh lebih elastis dibandingkan dengan pajak yang jumlahnya tetap dalam bentuk nilai uang). Catatan yang perlu diingat bahwa: tarif pajak dapat ditingkatkan seiring dengan inflasi, dan apabila keputusan politik atau tindakan administrasi dibutuhkan maka hal tersebut tidak dapat terjadi secara otomatis.

 4.    Biaya pemungutan : rasio antara biaya pemungutan dan hasil dari pajak sebaiknya sekecil mungkin. Populasi penduduk dengan tingkat penyebaran yang luas, masalah transportasi dan infrastruktur menyebabkan biaya pemungutan di negara-negara berkembang menjadi tinggi. Hal ini menyebabkan pajak atas kegiatan sektor informal menjadi mahal karena biaya pemungutan yang tinggi.

 

Perinsip Keadilan.

Beban pajak sebaiknya “adil” dan sesui dengan kemampuan membayar wajib pajak. Oleh karena itu, terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan :

1.    jelas tidak sembarangan : dasar pengenaan pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan mudah dipahami. Hal ini penting dalam rangka menghindari tindakan sewenang-wenang dan ketidakadilan dalan penetapan pajak.

2.  prinsip manfaat : adalah prinsip yang menyatakan bahwa mereka yang menerima manfaat (atau paling diuntungkan) atas pelayanan pemerintah harus memberikan kontribusi (atau berkontribusi lebih banyak) atas pelayanan tersebut. Hal ini memberikan pengertian luas untuk perpajakan atau batas geografis bagi perpajakan (misalnya, wajib pajak pada satu daerah tidak harus membiayai pelayanan pada daerah lain), atau mengenakan retribusi langsung atas pelayanan yang diberikan kepada pembayar. Namun demikian, secara umum, prinsip ini tidak digunakan sebagai dasar untuk mengalokasikan beban pajak di antara individu.

3.    keadilan horisontal : artinya orang-orang dalam lingkungan ekonomi yang sama harus diperlakukan sama, misalnya, penghasilan dari pertanian harus dikenakan pajak pada tingkat yang sama dengan penghasilan dari sektor industri atau sektor lainnya.

4.  keadilan vertikal : adalah keadilan yang dikaitkan antara beban pajak dengan kemampuan untuk membayar. Oleh karena itu, perpajakan sebaiknya proporsional (artinya, semua kelompok penghasilan memberikan persentase kontribusi yang sama dari penghasilan tersebut) atau progresif (artinya, kelompok dengan penghasilan tinggi memberikan persentase kontribusi yang lebih besar seperti pada pajak penghasilan).

 

Masalah-Masalah dalam Penerapan Pajak Daerah.

Terdapat beberapa permasalahan ketika merancang sistem pajak yang adil, khususnya di negara berkembang hal tersebut di karenakan :

-       tingkat rata-rata pajak rendah di mana penghasilan dan jumlah orang kaya relatif kecil, berarti tidak ada alternatif lain kecuali mengenakan pajak pada masyarakat miskin;

-        kurangnya data yang akurat berkaitan dengan dasar pengenaan pajak;

-       ketidak-akuratan penilaian ditambah dengan penyelundupan (evation) pajak yang dilakukan oleh orang kaya, menyebabkan apapun bentuk dan sistem pajak cenderung akan memberikan beban lebih berat pada masyarakat miskin;

-        dorongan atas pengaruh negatif dari pajak progresif berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

 

Ekonomi efisiensi atau Netralitas ekonomi

Dalam sistem pasar, harga (dalam arti luas) melakukan fungsi utama sebagai alokasi sumber daya, dan ditentukan oleh hubungan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand). Sebagian pajak mempengaruhi harga relatif dan karenanya mempengaruhi keputusan ekonomi melalui konsumer dan produser (keputusan berkaitan dengan apa yang harus dibeli, kombinasi atas input, pilihan antara kerja dan waktu santai, serta antara konsumsi dan investasi, dll)

 

Sistem pajak harus dirancang sedemikian rupa sehingga bersifat netral, yaitu meminimalkan distorsi harga relatif, dan untuk menghindari terjadinya insentif dan disinsentif yang tidak diharapkan. Contoh: perusahaan manufaktur memiliki pilihan di antara dua proses produksi yaitu menggunakan bahan A atau bahan B. Bahan A berlimpah di negara tersebut, karenanya harga menjadi lebih murah dibandingkan bahan B. Namun demikian, terdapat pajak atas bahan A yang mengakibatkan harga bahan A ke perusahaan menjadi lebih tinggi.

Berdasarkan hal tersebut, perusahaan cenderung memilih bahan B. Pilihan ini menimbulkan kerugian terhadap perekonomian, sebagai akibat dari distorsi harga relatif pada sistem pajak.

Kerugian ekonomi dapat berdampak luas daripada hanya sekedar biaya tambahan pajak konsumen, atau sejumlah uang yang dihasilkan dari pajak. Misalnya, terdapat beberapa pembeli yang hilang dari suatu barang, atau pembeli beralih ke komoditas lain, semua karena pajak. Jumlah total dari kerugian tersebut dikenal sebagai excess burden atau deadweight loss dalam ilmu ekonomi berkaitan dengan perpajakan.

 

Kemampuan Melaksanakan

1.       Kemampuan diterima secara politis: tidak ada pajak yang populer, tetapi terdapat beberapa pajak yang lebih populer dibandingkan dengan yang lainnya. Kesemuanya banyak tergantung pada visibilitas pajak, seperti pajak yang pembayarannya dilakukan secara langsung (misalnya, pajak properti atau pajak poll”) kemungkinan akan jauh lebih populer daripada pajak yang disamarkan (misalnya, pajak penjualan atau withholding tax).

       Beberapa jenis pajak kemungkinan sensitif di negara-negara tertentu (misalnya, pajak atas tanah, sapi). Political will dibutuhkan untuk merevisi tarif pajak dalam rangka meyakinkan penilaian yang adil dan untuk mengambil tindakan penegakan hukum bagi yang menghindari pajak. Adanya kepentingan tertentu sering menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan sistim perpajakan yang efektif, khususnya pajak progresif.

       Mengalokasikan pendapatan pajak untuk tujuan tertentu (earmark) membuat pajak tersebut secara politis tidak terlalu sensitif, tetapi cenderung mengurangi fleksibilitas anggaran dan pembayar pajak tidak terdorong untuk membayar pelayanan yang kurang populer (misalnya administrasi umum).

2.       Kapasitas administratif: hal ini berkaitan dengan keahlian, keterampilan dan kejujuran sumber daya manusia dari suatu negara untuk mengelola pajak yang kompleks secara efisien dan efektif. Beberapa pajak lebih mudah dan sederhana untuk dikelola dibandingkan dengan yang lain (misalnya, bea balik nama kendaraan bermotor dibandingkan dengan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan). Administrasi dapat difasilitasi oleh organisasi pada suatu tempat di mana pajak tersebut dikumpulkan (misalnya pajak hotel dan pajak restoran).

 

Penilaian/Penetapan Pajak

Tidak ada pajak yang sempurna. Tujuan dari kebijakan fiskal adalah untuk merancang serangkaian pajak yang dapat meminimalisasi pelanggaran atas kriteria-kriteria pajak di atas. Perlu diingat bahwa kemungkinan konflik di antara kriteria-kriteria tersebut dapat terjadi, misalnya :

a.        Antara keadilan dan efisiensi

b.        Antara kemudahan administrasi dan keadilan

c.        Antara hasil dan ekonomi efisiensi, dan lainnya

   

Namun demikian, kehati-hatian dalam merancang instrumen pajak dapat memperbaiki trade-off di antara kriteria tersebut.

 

Isu-Isu Terkini Pajak Daerah

Dalam pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2009 terdapat sejumlah permasalahan dan tantangan yang memerlukan penanganan dalam rangka mengoptimalkan PAD dan memberikan kepastian hukum mengenai pungutan daerah yang menjadi kewajiban masyarakat. Sebagian isu yang timbul adalah terkait dengan gugatan masyarakat terhadap rumusan dalam UU No. 28 Tahun 2009 dan sebagian lainnya terkait dengan implikasi dari pengalihan PBB-P2 dan BPHTB ke daerah.

 

Gugatan terhadap UU No. 28 Tahun 2009

Sampai tahun 2013, setidaknya terdapat 3 gugatan terhadap materi UU No, 28 Tahun 2009 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, yaitu pajak hiburan objek golf, pajak hiburan objek fitness center, pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor objek alat berat.

 

1.    Pajak Hiburan objek golf.

Dalam UU No. 28 Tahun 2009, golf dikategorikan sebagai hiburan yang terkena pajak hiburan. Asosiasi Pemilik Lapangan Golf Indonesia mengajukan uji materi mengenai ketentuan tersebut ke Mahkamah Konstitusi dengan tuntutan agar golf tidak dimasukkan sebagai hiburan yang dikenakan pajak hiburan.

Mahkamah Konstitusi pada sidang tanggal 18 Juli 2012 mengabulkan permohonan pemohon dengan pertimbangan :

·        Golf adalah cabang olahraga, yang merupakan kegiatan fisik yang dapat mendorong, membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani dan sosial seperti cabang olahraga lainnya,

·       Pengenaan pajak atas golf menimbulkan pajak ganda untuk objek pajak yang sama, karena golf merupakan objek PPN.

 

Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sejak tanggal 18 Juli 2012, pemerintah daerah tidak boleh memungut pajak hiburan atas permainan golf.

 

Terlepas dari keputusan Makamah Konstitusi tersebut di atas, ada pandangan lain terkait dengan pengenaan pajak hiburan atas permainan golf, sebagaimana pendapat salah satu Hakim MK, Ahmad Sodiki. Beliau berpendapat bahwa permainan golf layak dikenakan pajak hiburan, karena golf dimainkan oleh orang mampu, sehingga semakin besar kemampuan membayar, maka semakin besar beban yang dikenakan.

 

2.    Pajak Hiburan objek       Fitness center

Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, pusat kebugaran atau fitness center termasuk dalam kategori hiburan yang dikenakan pajak hiburan. Pengusaha dan pengguna pusat jasa kebugaran mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar Pasal 42 ayat (2) huruf i UU No. 28 Tahun 2009 dibatalkan dengan pertimbangan :

 

·     bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan (2) UUD 1945;

·   memperlakukan secara diksriminatif bila dibandingkan cabang olahraga lainnya yang juga memungut bayaran dari  kliennya,  seperti golf  yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

 

3.   Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) objek alat berat.

Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, alat-alat berat dan alat-alat besar termasuk dalam kategori kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB). Beberapa asosiasi alat berat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi agar membatalkan ketentuan ini. Namun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut, sehingga atas penguasaan dan pemilikan alat berat tetap dikenakan PKB dan atas penyerahan kepemilikan alat berat dikenakan BBN- KB.

Ada beberapa pandangan dan kritik terhadap pengenaan PKB dan BBNKB atas alat berat, antara lain :

 

·     UU No. 28 tahun 2009 maupun UU No. 34 Tahun 2000 tidak memberikan penjelasan, pengertian, maupun definisi alat berat dan alat-alat besar sehingga mengaburkan maksud dan jenis alat berat mengingat banyaknya jenis, ragam dan fungsi alat berat sebagaimana dijelaskan berikut ini.

 

 · Alat berat dan alat konstruksi pada umumnya di bagi sesuai dengan sektor pemakaian alat tersebut, setelah itu baru di kategori dalam jenis dan fungsi alat-alat tersebut dan kemudian dibagi lagi sesuai ukuran dan beratnya. APPAKSI selalu berkomunikasi dengan asosiasi internasional sejenis seperti American Rental Association, Japan Heavy Equipment Industry Association, Korean Machinery Rental Association, dan beberapa asosiasi di negara-negara ASEAN, termasuk Australia.

 

 ·   Dalam beberapa kesempatan berdiskusi di acara pameran international seperti Bauma German dan Conexpo di Amerika, APPAKSI telah mengecek pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (Road Tax) untuk alat berat dan alat besar. Dari informasi yang diperoleh dari beberapa negara seperti Amerika, Japan, Korea, Malaysia maupun Australia memang tidak dikenakan PKB (Road Tax) untuk alat besar dan alat berat. Bahkan untuk merangsang pembangunan konstruksinya, Amerika memperpanjang Tax  Relief  Act  2010 section 179 Boost  for  Small Business dalam Tax Incentives For Equipment Purchase untuk tahun 2011 dan 2012. Ini berarti untuk pembelian alat baru atau re-kondisi dengan nilai diatas US $ 500.000 dapat dikompensasi                30 %  dari pajak penghasilan diluar depresiasi.

 

 

Perluasan Objek Pajak

Beberapa daerah mengenakan toko roti BreadTalk dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Restoran BreadTalk, dan took roti lainnya merupkan objek PPN dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, objek PPN tidak boleh lagi dikenakan pajak daerah. Sebaliknya, objek pajak daerah tidak boleh lagi dikenakan PPN. Beberapa objek pajak daerah memiliki objek yang sama dengan pajak pusat, seperti namun sudah diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009.

 

 

Usulan Daerah Untuk penyempurnaan Kebijakan BPHTB dan PBB-P2

 

Potensi PBB-P2 dan BPHTB antardaerah di Indonesia sangat timpang. Daerah yang meiliki potensi rendah mengalami kesulitan untuk meningkatkan pendapatan dari PBB-P2 dan BPHTB karena sebagian besar tanah dan bangunan yang dimiliki atau ditransaksikan tidak dikenakan pajak.

 

1.        NPOP-TKP

Pemerintah kabupaten/kota mulai memungut Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) pada tahun 2011. BPHTB dikenakan atas setiap transaksi jual beli tanah dan atau bangunan dengan nilai diatas Rp. 60.000.000,-.

Untuk jual beli dengan nilai Rp. 60.000.000,- atau kurang, tidak dikenakan  BPHTB.

Contoh Perhitungan :

 

NPOP-TKP ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,- dan tarif BPHTB = 5%.

 

a.    Apabila nilai transaksi jual beli objek pajak = Rp. 100.000.000,-  maka Nilai Perolehan Objek Pajak yang dikenakan BPHTB = Rp. 100.000.000,-   Rp. 60.000.000,-  = Rp. 40.000.000,- sehingga BPHTB terhutang  =  5 %  x  Rp. 40.000.000,-  =  Rp. 2.000.000,-

b.    Apabila nilai transaksi jual beli objek pajak = Rp. 50.000.000,- , maka Nilai Perolehan Objek Pajak yang dikenakan BPHTB =  Nihil.

 

Pada sebagian daerah, terutama daerah dengan potensi ekonomi yang belum berkembang, memandang penetapan NPOP-TKP sebesar Rp. 60.000.000,-  terlalu tinggi dan sebaiknya tidak diseragamkan untuk seluruh daerah di Indonesia. Sebagian besar transaksi jual beli tanah dan bangunan di daerah tersebut bernilai kurang dari Rp. 60.000.000,-   sehingga transaksi yang terjadi tidak dapat dikenakan BPHTB. Akibatnya, pendapatan BPHTB tidak dapat ditingkatkan. Daerah seperti ini mengusulkan agar NPOP-TKP ditinjau kembali dan dibuka kemungkinan untuk menetapkan NPOP-TKP yang lebih rendah.

 

2.        NJOP-TKP sebesar Rp. 10.000.000,-  untuk pemungutan PBB-P2

Pemerintah kabupaten/kota mulai dapat memungut PBB-P2 sejak 1 Januari 2010 dan paling lambat 1 Januari 2014. Dalam pemungutannya, PBB-P2 dikenakan atas tanah dan atau bangunan yang bernilai sekurang-kurangnya  Rp. 10.000.000,-.   Atas tanah dan atau bangunan yang nilainya di bawah Rp.10.000.000,-   tidak dikenakan  PBB-P2.

Sebagai contoh perhitungan :

NJOP-TKP ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000,-  dan tarif  PBB-P2  =  0,1%.

a.       Apabila NJOP sebidang tanah  = Rp. 20.000.000,-,                                                                  maka NJOP yang dikenakan PBB-P2   =  Rp. 20.000.000,-   Rp. 10.000.000,-  =                   Rp. 10.000.000,-, sehingga PBB-P2 terhutang  =  0,1 %  x  Rp. 10.000.000,-  =  Rp10.000,-

 

b.       Apabila  NJOP sebidang tanah   Rp.9.000.000,-                                                                       maka NJOP yang dikenakan PBB-P2  =  Nihil.

 

Terdapat beberapa daerah yang tidak dapat mengenakan PBB-P2 karena NJOP tanah di daerah tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dikenakan PBB-P2 secara optimal. Daerah seperti ini mengusulkan agar NJOP-TKP ditinjau kembali dan membuka kemungkinan untuk mentapkan NJOP-TKP  yang lebih rendah.

 

 

Jenis-Jenis Pajak Daerah Dalam Table

Pengelompokan Jenis Pajak Daerah Dan Tarif Maksimal

 

Pajak Provinsi

Tarif

Maksimal

Pajak Kabupaten/Kota

Tarif

Maksimal

 

1.     Pajak Kendaraan Bermotor :

a.    Kepemilikan kendaraan bermotor pribadi pertama:

b.   Kepemilikan kendaraan bermotor pribadi kedua dan seterusnya

c.   Tarif PKB alat berat dan alat alat besar

d.   Tarif PKB untuk angkutan umum, ambulans, pemadaman kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, pemerintah/TNI/Polri, Pemda

 

 2.    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor :

a.   Penyerahan pertama

b.   Penyerahan kedua dan seterusnya

c.   Penyerahan pertama alat alat berat dan alat alat besar

d.   Penyerahan kedua dan seterusnya alat alat berat dan alat alat besar

 

 3.    Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

 4.    Pajak Air Permukaan; dan

 

5.      Pajak Rokok (definitif)

 

 

1% - 2%

 

2%-10%

  

 

0,1%-0,2%

 

 

 

0,5%-1%

 


 

 

 

 20%

 

 

1%

  

0,75%

 

0,075%

 

10%

  

10%

 

 

 

10%

 

1.  Pajak Hotel

2.      Pajak Restoran

3.      Pajak Hiburan

a.    Hiburan umum maksimal

b.    Hiburan khusus

c.    Hiburan rakyat/tradisional

4.      Pajak Reklame

5.      Pajak Penerangan Jalan

a.   PPJ umum

b.   PPJ dari sumber lain oleh industri, pertambangan, minyak bumi dan gas alam

 

c.   PPJ yang dihasilkan sendiri

6.    Pajak Parkir

7.    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan 

8.      Pajak Air Tanah

9.      Pajak Sarang Burung Walet

  

10.  PBB Perdesaan Perkotaan

  

11.  Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

 

 

10 %

  

10 %

 

35%

 

 

75%

  

10%

 

 

25%

 

10%

 

 

3%

 

 

1,5%

 

30%

  

 

25%

 

20%

  

10%

 

0,3%

 

5%

 

 

1.           Pajak Daerah Kewenangan Provinsi

Pajak Provinsi terdiri dari lima jenis dengan rincian sebagai berikut.

a. Pajak Kendaraan Bermotor

Kategori kendaraan bermotor dalam pajak jenis ini adalah berupa kendaraan bermotor beroda berikut gandengannya. Pengoperasian kendaraan dilakukan di jalan darat maupun air. Untuk kendaraan yang beroperasi di air memiliki ukuran isi kotor (gross tonnage) antara GT 5 hingga GT 7.

Pajak Kendaraan Bermotor secara spesifik tidak dikenakan pada kereta api serta kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara. Pajak Kendaraan Bermotor juga dibebaskan apabila dimiliki oleh pihak kedutaan maupun perwakilan negara asing yang mendapat fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah.

Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor dapat dilakukan melalui Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) yang terdapat di daerah terkait. Saat ini, pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor bahkan turut dipermudah dengan kehadiran Samsat keliling dan Samsat online.

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Seperti pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor, balik nama kendaraan bermotor juga dilakukan di kantor Samsat. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dibayarkan apabila terjadi penyerahan kepemilikan kendaraan bermotor. Penyerahan wajib disertai dengan laporan tertulis kepada gubernur maupun pejabat berwenang dalam jangka waktu minimal 30 hari.

Untuk penyerahan pertama, tarif yang dikenakan untuk Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah 20 %. Tarif untuk penyerahan selanjutnya adalah sebesar 1%.

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dipungut oleh pihak yang menyediakan bahan bakar kendaraan bermotor. Bahan bakar yang dimaksud bisa dalam bentuk cair maupun gas.                    Tarif yang dikenakan adalah maksimal 10%.

d. Pajak Air Permukaan

Pajak Air Permukaan dikenakan pada orang maupun badan yang memperoleh manfaat dari air permukaan. Namun demikian, terdapat pengecualian apabila air tersebut digunakan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian, serta perikanan rakyat. Penggunaan air permukaan wajib memerhatikan kelestarian lingkungan. Tarif Pajak Air Permukaan maksimal adalah sebesar 10%.

e. Pajak Rokok

Pemungutan pajak rokok dilakukan secara bersamaan dengan cukai rokok. Hal tersebut karena rokok merupakan satu dari tiga jenis Barang Kena Cukai di Indonesia. Tarif yang dikenakan untuk Pajak Rokok adalah sebesar 10% dari cukai rokok. Adapun rokok yang dimaksud adalah berupa sigaret, cerutu, dan rokok daun.

 

2. Pajak Daerah Kewenangan Kabupaten/Kota.

Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari sebelas jenis dengan penjelasan sebagai berikut.

a. Pajak Hotel

Hotel dalam hal ini dipahami sebagai fasilitas yang menyediakan jasa penginapan atau peristirahatan dengan sejumlah pungutan bayaran. Pajak Hotel dikenakan pula pada motel, losmen, gubuk atau wisma pariwisata, serta rumah kos yang memiliki lebih dari 10 kamar.

b. Pajak Restoran

Yang menjadi objek Pajak Restoran adalah pelayanan penjualan makanan maupun minuman yang dikonsumsi oleh konsumen. Entah konsumsi dilakukan di tempat tersebut atau tempat lain. Tarif maksimal yang dikenakan untuk Pajak Restoran adalah sebesar 10 %.

c. Pajak Hiburan

Wajib Pajak Hiburan adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan hiburan, baik secara pribadi maupun badan. Adapun kegiatan hiburan yang dimaksud diantaranya berupa tontonan film, pagelaran, kontes kecantikan, pameran, diskotek, sirkus, permainan golf, dan pacuan kuda. Tarif maksimal pajak hiburan adalah mencapai 75%. Untuk hiburan berupa kesenian rakyat yang wajib dilestarikan, tarif pajak maksimal adalah 10%.

d. Pajak Reklame

Pengertian reklame dalam hal ini adalah benda, alat, perbuatan, maupun media yang sengaja dirancang untuk tujuan komersial demi mempromosikan barang, jasa, maupun badan. Reklame dapat berupa papan, kain, selebaran, sticker, dan lain sebagainya.

e. Pajak Penerangan Jalan

Yang menjadi objek Pajak Penerangan Jalan adalah pajak yang dibebankan pada penggunaan tenaga listrik. Adapun tenaga listrik yang dimaksud dapat dihasilkan sendiri atau dari sumber lain.

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan diantaranya berupa asbes, batu tulis, batu kapur, gips, kaolin, dan sebagainya. Tarif pajak yang dikenakan adalah sebesar maksimal 25 %.

g. Pajak Parkir

Yang menjadi objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan. Pengadaan usaha parkir dapat sebagai sarana penunjang usaha atau tempat penitipan kendaraan bermotor. Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30 %.

h. Pajak Air Tanah

Air tanah dipahami sebagai air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan yang terdapat di bawah permukaan tanah. Tarif maksimal Pajak Air Tanah adalah sebesar 20 %.

i. Pajak Sarang Burung Walet

Pengenaan Pajak Sarang Burung Walet dilakukan berdsarkan nilai jual sarang burung walet. Tarif pajak maksimal yang dikenakan adalah sebesar 10 %.

j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Jenis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang termasuk sebagai Pajak Daerah berbeda dengan PBB untuk pajak pusat. PBB untuk pajak pusat berada pada sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Sementara PBB dalam Pajak Daerah berada pada sektor perdesaan dan perkotaan.

k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Rincian hak atas tanah dalam pajak ini berupa hak milik, hak guna usaha, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, serta hak pengelolaan. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan maksimal adalah sebesar 5 %.

 

  

Contoh Perhitungan Sederhana untuk Pajak Daerah.

 

 Pajak Daerah Kewenangan Provinsi :

 

1.       Pajak Kendaraan Bermotor.

 

       (Jika Kepemilikan Kendaraan Bermotor Pribadi Pertama)

 

Harga Jual Kendaraan Bermotor  Rp. 150.000.000,-

Koefisien bobot yang ditentukan  berdasarkan berat, daya angkut, isi silinder yang ditentukan berdasarkan Peraturan Gubernur : 1,025

 

Harga Jual Rp. 150.000.000,-  x 1,025  =  Rp. 153.750.000,-

Pajak Kendaraan Bermotor terutang = 1 % x Rp. 153.750.000,-  = Rp. 1.537.500,-

 

Jika Daerah Provinsi memberlakukan Tarif Pajak yang Progressif untuk kendaraan pribadi kedua dan seterusnya, ( 2 % s/d 10 %)  maka berlakulah Tarif Pajak sesuai perhitungan :

 

Pajak Kendaraan Bermotor terutang = 2 % x Rp. 153.750.000,-  = Rp. 3.075.000,-

 

 

2.       Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).

 

Jika Harga Jual sama dengan kasus diatas, maka pada penyerahan pertama berlaku perhitungan BBNKB terutang : 20 % x Rp. 153.750.000,-   = Rp. 30.750.000,-

 

Penyerahan kedua atau Balik Nama kedua dan seterusnya ;

BBNKB terutang 1 % x Harga Jual yang ditentukan Pemerintah sesuai Tahun Kendaraan.

 

 

3.       Pajak Bahan Bakar KB.

 

Harga jual premium Rp. 6.450,- per liter termasuk PPN dan PBB-KB.
Pokok PBB-KB yang terutang per liter : 10 % x (100/115 x Rp. 6.450,-) = Rp 554,70.

 

4.   Pajak Air Permukaan (PAP).

PT. “Z” memiliki nilai perolehan air sebesar Rp 1.000,-/ dengan volume air yang diambil sebesar  5.000.000 /bulan. Maka, perhitungan PAP terutang adalah :

10 % x Rp 1.000 x 5.000.000 = Rp. 500.000.000,-

Berdasarkan contoh kasus ini, pajak terutang PT.  “Z” adalah Rp. 500.000.000,- Pajak tersebut, dipungut oleh Pemerintah Daerah Provinsi setempat. 

 

5.   Pajak Rokok.

Sistem Perhitungan Cukai dan Pajak Rokok berdasar HJE  (Harga Jual Eceran)

Jika HJE per batang rokok adalah Rp. 1.500,- Cukai Rokok yang harus dibayar pengusaha per batang : 40 % x Rp. 1.500,- = Rp. 600,-

Sementara Pajak Rokok yang harus dibayar pengusaha per batang:

10 % x Rp. 600,- = Rp 60,-

Perhitungan dengan Sistem Kombinasi atau Advolrum

Jika dihitung dengan menggunakan tarif advolrum, dapat diilustrasikan sbb :

Diasumsikan bahwa harga satu bungkus rokok rokok merek “GS” sebesar Rp 24.000,-                    dengan cukai 40 %. Dengan demikian, nilai Cukai Rokok tersebut adalah :

40 % x Rp 24.000,- = Rp 9.600,-

Pemerintah Daerah (Pemda) memungut Pajak Rokok dengan besaran 10 % atas Cukai Rokok. Dengan demikian, nilai Pajak Rokok yang harus dibayarkan adalah :

10 % x Rp 9.600,- = Rp. 960,-

Dari gambaran tersebut, dapat diasumsikan harga jual yang ditetapkan dari satu bungkus rokok merek “GS” setelah terkena Pajak dan Cukai Rokok adalah Rp 24.960,-   dengan cukai rokok sebesar Rp 9.600,-

Dengan perhitungan nominal cukai dan Pajak Rokok, pengusaha bisa mengetahui harga jual rokok yang diproduksi. Sebagai contoh, harga jual rokok merek “GS” sesudah dikenai beban pajak dan cukai adalah sebesar Rp. 24.960,-  dengan nominal cukai sebesar Rp. 9.600,-

Kedua contoh perhitungan di atas sekadar menunjukkan perhitungan Pajak Rokok secara sederhana. Ketentuan penggolongan tarif cukai secara lebih lengkap dapat dilihat  pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

 

 

Pajak Daerah Kewenangan Kabupaten/Kota :

 

1. Pajak Hotel.

Pajak hotel dikenakan tarif 10 %.  tarif tersebut dikalikan dengan omset dalam satu bulan. 

Misalnya dalam sebulan, hotal A beromset Rp 20.000.000,-

Maka perhitungan pajaknya 10 % x 20.000.000  =  Rp. 2.000.000,-
Pajak yang harus dibayar adalah Rp 2.000.000,-

2. Pajak Restoran

Terakhir adalah Pajak Restoran. Pajak restoran dikenakan tarif 10 %. Pajak ini juga mengacu pada omset. 

Contoh kasusnya, rumah makan B pada bulan September beromset Rp 20.000.000,-  

 pajak yang harus dibayar adalah Rp. 20.000.000 ,- x 10 % =Rp.  2.000.000,-.

3. Pajak Hiburan.

Pajak hiburan memiliki rumus, tarif x omset dalam satu bulan. 

Jika sebuah karaoke dalam bulan September beromset Rp 20.000.000,-  maka pajak yang harus dibayar adalah 25 % x Rp. 20.000.000 = Rp. 5.000.000,-  Maka besaran pajak yang harus dibayar adalah   Rp 5.000.000,-

Beda lagi dengan konser musik yang masuk dalam hiburan insidentil. Pajak ini bertarif 15 %           dari omset. 

Misalnya, sebuab konser beromset Rp 20.000.000,- Pajak terutang : 15 % x Rp. 20.000.000,-  =         Rp. 3.000.000,-   Maka pajak yang harus dibayar sebesar Rp 3.000.000,-

 

4. Pajak Reklame

Untuk pajak reklame, dikenakan tarif sebesar 20%.

Rumus perhitungannya, 20 % x  (NJOR + Nilai strategis). 

Contoh kasusnya, sebuah rekalme dengan jumlah sebanyak 1 unit,  berbentuk Billboard satu sisi dengan ukuran 4 m x 8 m, dipasang selama 3 bulan mulai bulan Januari sampai Maret.

Jadi perhitungan pajaknya sebagai berikut, 1unit x 1 sisi x 32 m2 x 120.000 = Rp. 3.840.000,-                  Maka pajak yang harus dibayar selama tiga bulan adalah Rp 3.840.000,-

Untuk reklame insidentil, perhitungannya berbeda. Misalkan saja ada sebuah reklame sebanyak        5 unit berbentuk spanduk ukuran 2 m x 8 m dan dipasnag selama 5 hari, maka perhitungannya, 5 unit x 16 m2 x 6.000 x 5 hari = Rp. 2.400.000,-

 

5. Pajak Penerangan Jalan

Sebuah perusahaan makanan menggunakan listrik yang dihasilkan sendiri pada bulan Januari 2020, dengan nilai jual berdasarkan harga yang berlaku umum sebesar Rp. 10.000.000,-                                                  Daya yang dimiliki adalah 1.300 VA.

Maka, penghitungan pajak penerangan jalannya adalah :

Rumus : Tarif pajak x DPP

Tarif pajak : 4 %

Nilai Jual Tenaga Listrik  sebagai DPP : Rp. 10.000.000,-

Jumlah pajak yang harus dibayar : 4% x Rp. 10.000.000,- = Rp. 400,000,-

Jumlah di atas adalah jumlah yang harus wajib pajak setorkan ke Pemerintah Daerah setiap bulan. Untuk wajib pajak yang menggunakan sumber listrik dari PLN, PJJ akan dipungut oleh PLN dan dibayarkan kepada Pemerintah Daerah.

 

6. Pajak Parkir.

Pada Pajak Parkir, jumlah omset juga menjadi acuan. Pajak parkir dikenakan sebesar 20 %.

Contoh kasus, parkir ruko pada bulan November beromset Rp 20.000.000,- Maka dalam hitungannya, Rp 20.000.000 x 20 % = Rp 4.000.000,- Jadi pajak yang harus dibayar selama sebulan adalah   Rp 4.000.000,-

 

7. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.

Pembelian :

1.       Pasir 2 rit/truk :  8 m3 x Rp. 35.000,-    = Rp. 280.000,-

       Pajak Terutang  : 25 % x Rp. 128.000,- = Rp.   70.000,-

 

2.       Batu krikil 1 rit/truk :  4 m3 x Rp. 56.000,-  = Rp. 224.000,-

       Pajak Terutang  : 25 % x Rp. 224.000,-        = Rp.   56.000,-

 

3.       Pasir kuarsa 3 rit/truk :  12 m3 x Rp. 275.000,- = Rp. 3.300.000,-

       Pajak Terutang  : 25 % x Rp. 3.300.000,-           = Rp.    825.000,-

 

8. Pajak Air Tanah .

PT. “X” memiliki nilai perolehan air sebesar Rp 2.100,-/ dengan volume air yang diambil sebesar  15.000 /bulan.

Maka, perhitungan Pajak Air Tanah terutang adalah :

20 % x Rp 2.100 x 15.000 = Rp. 6.300.000,-

Berdasarkan contoh kasus ini, pajak terutang PT.  “X” adalah  Rp. 6.300.000,-

Pajak tersebut, dipungut oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setempat.

 

9. Paj   9. Pajak Sarang Burung Walet

Seorang pengusaha burung walet, Pada bulan Desember 2019, hasil panennya mencapai 40 kg dengan harga jual Rp. 20.000.000,- per kg.    Sesuai ketentuan  Wajib Pajak tersebut wajib membayar pajak daerah atas sarang walet yang dimiliki.

berikut ini perhitungan untuk pajak sarang burung walet yang harus dibayar :

40 kg x Rp. 20.000.000,- x 10 % = Rp. 80.000.000,-

 

10.       Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Cara pengitungannya sebagai berikut, 
Tarif PBB : 0,1 %  -  0,3 % (sesuai Perda Kabupaten/Kota)
NJOPTKP : Rp 10.000.000,-

PBB terutang = Tarif PBB (NJOP - NJOPTKP).

Contoh kasusnya, Pak Pulan bin Pulan tinggal di rumah yang berlokasi di Jl. Pratama  dengan luas bangunan  50 meter persegi dan luas tanah 84 meter persegi. 

NJOP-nya, bumi, saat itu sebesar Rp 1.573.000,-      per meter persegi dan NJOP bangunan sebesar    Rp 429.000.   Berapakah PBB yang mesti dibayar Pak Pulan bin Pulan  ?

NJOP Bangunan 84 x Rp 1.573.000,-  =  Rp 132.132.000,-

NJOP Bumi 50 x Rp 429.000,-  =  Rp 21.450.000,-

NJOP sebagai Dasar Pengenaan PBB = 132.132.000,-  +  21.450.000,-  = Rp. 153.582.000,-

NJOPKP = NJOP    NJOPTKP = Rp 153.582.000,-  -  Rp 10.000.000,-  =  Rp. 143.582.000,-
PBB terutang = 0,3 %  x Rp. 143.582.000,-  =  Rp 430.746,-

Andai kata tarif PBB nya 0,1 % maka PBB terutang mmenjadi :

0,1 % x Rp. 143.582.000,-  =  Rp. 143.582,-

 

11.        Pajak BPHTB

Perhitungan pajak BPHTB. Tarif  BPHTB sebesar 5 %. 

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebesar Rp 60.000.000,-                     rumus pengenaan pajak BPHTB = 5 % x (dasar pengenaan - NPOPTKP).

Contoh kasusnya, Bapak Pulan bin Pulan membeli sebuah rumah dengan harga Rp 125.000.000,-  Perhitungan BPHTB yang harus dibayar adalah : ( Rp. 125.000.000  - Rp.  60.000.000)  x  5 %  =  Rp. 3.250.000,-   Pajak yang harus dibayar adalah Rp 3.250.000,-

Kemudian untuk mereka yang memperoleh hak waris atau hibah, hitungannya akan berbeda.

NPOPTKP nya sebesar Rp 300.000.000,. Dicontohkan jika Pak Pulan bin Pulan mendapat warisan rumah senilai Rp 425.000.000,- maka pajak BPHTB yang harus dibayar adalah              (Rp. 425.000.000 -  Rp. 300.000.000)  x 5 % = Rp. 6.250.000,-

maka BPHTB yang harus dibayar sebesar Rp 6.250.000,-

 

 

Pengelompokan Pajak Daerah Berdasarkan Jenis, Objek dan Subjeknya

 o


Jenis Pajak Daerah

Objek Pajak Daerah

Subjek Pajak Daerah

1

Pajak Kendaraan Bermotor

(oficial assesment)

Kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor

Orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor

2

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

(oficial assesment)

Penyerahan Kepemilikan Kendaraan Bermotor

Orang pribadi atau Badan yang dapat menerima penyerahan Kendaraan Bermotor

3

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

(oficial assesment)

Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di air

Konsumen Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

4

Pajak Rokok

(oficial assesment)

Konsumsi Rokok

Konsumen Rokok

5

Pajak Air Permukaan

(Self Assesment)

Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan

Orang pribadi atau Badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan

6

Pajak Hotel

(Self Assesment)

Pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan

Orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran kepada Orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel

7

Pajak Restoran

(Self Assesment)

Pelayanan yang disediakan oleh Restoran

Orang pribadi atau Badan yang membeli makanan/minuman dari Restoran

8

Pajak Hiburan

(Self Assesment)

Jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran

Orang pribadi atau Badan yang menikmati Hiburan


9

Pajak Reklame

(Self Assesment)

Semua penyelenggaraan Reklame

Orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame

10

Pajak Penerangan Jalan

(oficial assesment)

Penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.

Orang pribadi atau Badan yang dapat menggunakan tenaga listrik

11

Pajak Parkir

(Self Assesment)

Penyelenggaraan tempat Parkir diluar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.

Orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir kendaraan bermotor

12

Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

(Self Assesment)

Kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.

Orang pribadi atau Badan yang dapat mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan

13

Pajak Air Tanah

(Self Assesment)

Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah

Orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah

14

Pajak Sarang Burung Walet

(Self Assesment)

Pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet

Orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet

15

PBB Perdesaan & Perkotaan

(oficial assesment)

Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan

Orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atau Bumi dan /atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

16

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

(oficial assesment)

Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

 

Sumber  :     UU No. 28 Tahun 2009

                                      PP No. 91 Tahun 2010

                       PP No. 97 Tahun 2012

                       Nick Devas Tahun 1985

                       Mardiasmo Tahun 2005

                       Fauzi Atan  Tahun 2010

                       (Bahan Perkuliahan PDRD, PBB Sektor P2, P3 dan Sektor lainnya)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akuntansi Bank

PBB