PDRD




PDRD
(PAJAK DAERAH & RETRIBUSI DAERAH)

Dasar Hukum :
UU Nomor  28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.
Terdiri dari 18 Bab, 185 pasal.


A.           Pajak dan Retribusi Daerah.

1.           Pajak Daerah.

Pengertian.

Banyak pakar perpajakan baik dari luar Indonesia maupun dari Indonesia sendiri mendifinikan pajak berbeda-beda, namun makna dan tujuannya tetap sama, dapat dicontohkan bahwa :

1.     Prof.Dr. M.J.H. Smeets seorang Pakar Perpajakan dari Jerman mendifinisikan bahwa “Pajak adalah Prestasi kepada Pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan dapat dipaksakan, tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditujukan dalam hal individual dengan maksud membiayai pengeluaran Pemerintah”.

2.     Prof. Dr. PJA. Adriani Guru Besar Universitas Amsterdam mengatakan bahwa “Pajak adalah iuran kepada Negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh wajib pajak untuk membayarnya berdasarkan Peraturan-Peraturan dengan tidak dapat Prestasi kembali yang langsung ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluran umum berhubungan dengan tugas Pemerintah”.

3.     Prof. Dr. Rahmat Soemitro pakar perpajakan dari Indonesia mendifinisikan bahwa “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbale balik (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membayar pengeluaran secara umu”.



4.     Fauzi Atan walaupun bukan pakar, tetapi mencoba memberanikan diri untuk  mendifinisikan bahwa “Pajak adalah Iuran Wajib oleh Rakyat kepada Negara yang sifatnya dapat dipaksakan, berdasarkan Ketentuan Undang-Undang, Tanpa Imbalan Prestasi secara langsung dan digunakan untuk kepentingan Negara”.

Artinya Didalam kata-kata pajak terdapat makna yang sama yaiu:

1.      Iurang yang bersifat Wajib kepada Negara.
2.      Dipungut berdasarkan Kekuatan Undang-Undang.
3.      Dapat Dipaksakan.
4.      Tanpa dapat dinikmati secara langsung oleh pembayar.
5.      Digunakan hanya untuk kepentingan Negara.



Pajak Daerah,  karena terselip kata-kata daerah maka makananya akan berubah menjadi “kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan Daerah, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat di Daerah”.
dengan berlakunya UU No.28 Tahun 2009 Jenis Pajak Daerah dapat diklasifikasikan menjadi jenis pajak yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi  dan jenis pajak yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Jenis pajak Daerah Provinsi dan Jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota bersifat limitatif yang berarti Provisi maupun Kabupaten/Kota tidak dapat memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan.
Adanya pembatasan jenis pajak yang dapat dipungut oleh Pemerintah Provinsi terkait dengan kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom yang terbatas hanya meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota dan kewenagan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten/kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu.


Pajak Daerah berdasarkan kewenangannya dibagi menjadi :

1.            Pajak Daerah Kewenangan Pemerintah Provinsi.
2.            Pajak Daerah Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota.


Pajak Daerah yang menjadi kewenangan Provinsi dikelola oleh Pemerintah Provinsi sementara Pajak Daerah yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota

Pajak Daerah yang dikelola Pemerintah Provinsi terdiri atas:

1.      Pajak Kendaraan Bermotor;
2.      Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3.      Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4.      Pajak Air Permukaan; dan
5.      Pajak Rokok.


 Pajak Daerah yang dikelola Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas:

1.      Pajak Hotel;
2.      Pajak Restoran;
3.      Pajak Hiburan;
4.      Pajak Reklame;
5.      Pajak Penerangan Jalan;
6.      Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
7.      Pajak Parkir;
8.      Pajak Air Tanah;
9.      Pajak Sarang Burung Walet;
10.   Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan;
11.   Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Dengan ketentuan bahwa :

1.      Daerah dilarang memungut pajak selain jenis Pajak yang telah ditetapkan  dengan Undang-Undang.

2.      Jenis Pajak yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang diperbolehkan untuk tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

3.      Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan daerah Provinsi, tetapi tidak terbagi dalam daerah Kabupaten/Kota otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis Pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk Daerah Provinsi dan Pajak untuk Daerah Kabupaten/Kota.



Pajak Kewenangan Provinsi

1. Pajak Kenderaan Bermotor.
Dalam Pasal 3 UU Nomor 28 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Objek Pajak Kendaraan adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan Bermotor.

Dalam pasal 4 menyebutkan subjeknya adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor, sementara Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.

Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud diatas adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (limaGross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage).

Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor adalah:

a.  kereta api;
b.    Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
c.    Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
d.    objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian antara Nilai Jual Kendaraan Bermotor dengan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.

Penghitungan Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dinyatakan dalam suatu table yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan.

Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah :

1.    untuk Kendaraan Bermotor Pribadi pertama paling rendah 1 % dan paling tinggi  2 %.
2.    untuk Kendaraan Bermotor Pribadi kedua dan seterusnya dapat ditetapkan secara progresif paling rendah 2 % dan paling tinggi 10 % berdasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama.
3.    Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI,  paling rendah 0,5 % dan paling tinggi 1 %.
4.    Kendaraan Bermotor Alat-alat Berat dan alat-alat besar paling rendah     0,1 % dan paling tinggi  0,2 %
5.    Pajak dikenakan untuk masa 12 bulan terhitung sa’at pendaftaran dan dibayar sekaligus di muka serta dipungut diwilayah daerah Kendaraan terdaftar.
  

2.  Bea Balik Nama Kenderaan Bermotor.
Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan kepemilikan Kendaraan Bermotor.

Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (limaGross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage).

Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor dimaksud adalah :

a.        kereta api;
b.        Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
c.        Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
d.        objek pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

Penguasaan Kendaraan Bermotor melebihi 12 (dua belas) bulan dapat dianggap sebagai penyerahan

Penguasaan Kendaraan Bermotor tidak termasuk penguasaan Kendaraan Bermotor karena perjanjian sewa beli.

Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:

a.        untuk dipakai sendiri oleh orang pribadi yang bersangkutan;
b.        untuk diperdagangkan;
c.        untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia; dan
d.        digunakan untuk pameran, penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.

Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c tidak berlaku apabila selama 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia.


Subjek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang dapat menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.

Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.

Dasar Pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor.

Tarif Bea Balik Nama Kendaaan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah :

1.    untuk penyerahan pertama Kendaraan Bermotor sebesar 20 % dan penyerahan kedua dan selanjutnya sebesar 1 %.
2.    Kendaraan Bermotor Alat-alat Berat dan alat-alat besar penyerahan pertama sebesar 0,75 % dan penyerahan selanjutnya sebesar 0,075 %
3.    Bea Balik Nama dipungut diwilayah daerah Kendaraan terdaftar.
4.    Wajib Bea Balik Nama Kendaraan paling lama 30 hari kerja sejak sa’at penyerahan.


3.  Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di air.

Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah konsumen Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

Wajib Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah adalah produsen dan/atau importer Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.

Dasar Pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Bahan Bakar sebelum dikenakan PPN.

Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah :

1.    Paling Tinggi sebesar 10 %
2.    Untuk Kendaraan Umum dapat ditetapkan paling sedikit 50 % lebih rendah.
3.    Pemerintah dapat mengubah Peraturan Daerah Tentang tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang telah ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
4.    Kewenangan Pemerintah untuk mengubah dalam hal :
a.    Terjadi kenaikan harga minyak dunia melebihi 130% dari asumsi yang ditetapkan dalam Undang-Undang Tentang APBN
b.    Dalam hal harga minyak dunia sudah normal kembali, Peraturan Presiden dicabut paling lama dalam jangka waktu 2 bulan. 



4.  Pajak Pajak Air Permukaan.


Objek Pajak Air Permukaan adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.

Dikecualikan dari objek Pajak Air Permukaan adalah:

a.    pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan; dan

b.    pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

Subjek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.

Wajib Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.

Dasar Pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air Permukaan yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan dinyatakan dalam Rupiah dengan mempertimbangkan faktor-faktor kondisi masing-masing daerah antara lain :

a.    Jenis air
b.    Lokasi sumber air
c.    Tujuan pengambilan dan/atau pemanfa’atan air.
d.    Volume air yang diambil dan/atau dimanfa’atkan.
e.    Kualitas air.
f.     Luar areal tempat pemngambilan dan/atau pemanfa’atan air.
g.    Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfa’atan air.


Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah Paling Tinggi sebesar 10 % dan dipungut diwilayah daerah tempat air berada.



5.  Pajak Rokok.

Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
Rokok sebagaimana dimaksudkan meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.

Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.

Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.

Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.

Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Dasar Pengenaan Pajak Rokok adalah Cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap Rokok.

Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10 % dari Cukai Rokok.




Bagi Hasil Pajak Provinsi


Hasil Penerimaan Pajak Provinsi sebagian diperuntukan bagi Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan :

a.        Hasil Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebesar 30 %.

b.        Hasil Penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 70 %.

c.        Hasil Penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 70 %.

d.        Hasil Penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 50 %.

e.        Khusus untuk penerimaan Pajak Air Permukaan dari air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota, diserahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 80 %. 



Pajak Kewenangan Kabupaten/Kota

1.  Pajak Hotel.
Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.

Jasa penunjang yang dimaksudkan adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola Hotel.

Tidak termasuk objek Pajak Hotel  adalah:

a.      jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
b.      jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
c.      jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d.      jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
e.      jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh Hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.


Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel.

Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel.

Dasar Pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada Hotel.
Tarif Pajak Hotel ditetapkan dengan Peraturan Daerah Paling Tinggi 10 % dipungut  diwilayah daerah tempat hotel berlokasi.



2.  Pajak Restoran.

Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran.

Pelayanan yang disediakan Restoran  meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain.

Tidak termasuk objek Pajak Restoran  adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran.

Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Restoran.

Dasar Pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima Restoran.
Tarif Pajak Restoran ditetapkan dengan Peraturan Daerah Paling Tinggi 10 % dipungut  diwilayah daerah tempat Restoran berlokasi.

3.  Pajak Hiburan.

Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran.

Hiburan dimaksud  adalah:

a.      tontonan film;
b.      pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c.      kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d.      pameran;
e.      diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
f.       sirkus, akrobat, dan sulap;
g.      permainan bilyar, golf, dan boling;
h.      pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i.       panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan
j.       pertandingan olahraga.

Penyelenggaraan Hiburan  dapat dikecualikan dengan Peraturan Daerah.

Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati Hiburan.

Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Hiburan.

Dasar Pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan termasuk potongan harga dan tiket Cuma-Cuma yang diberikan kepada penerima jasa hiburan.
Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dipungut  diwilayah daerah tempat Hiburan diselenggarakan, besaran tarif adalah :
1.    Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi 35 %.
2.    Khusus untuk Hiburan berupa Pagelaran Busana, KOntes Kecantikan, Diskotik, Karaoke, Klab Malam, Permainan Ketangkasan, Panti Pijat dan mandi uap/spa dapat ditetapkan paling tinggi 75 %.
3.    Khusus Hiburan Rakyat/Tradisional di tetapkan paling Tinggi 10%



4.  Pajak Reklame.

Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.

Objek Pajak Reklame dimaksud  meliputi:

a. Reklame papan/billboard/videotron/megatron b dan sejenisnya;
b. Reklame kain;
c.  Reklame melekat, stiker;
d.  Reklame selebaran;
e.  Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f.   Reklame udara;
g.  Reklame apung;
h.  Reklame suara;
i.   Reklame film/slide; dan
j.   Reklame peragaan.

Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah:

                        a.      penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
                        b.      label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
                        c.      nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
                        d.      Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
                        e.      penyelenggaraan Reklame lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.

Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.

Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau Badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut.

Dalam hal Reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame.

Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame, Apabila Reklame diselenggarakan oleh pihak ke tiga, ditetapkan berdasarkan nilai kontrak reklame dan apabila Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa dihitung dengan memperhatikan :
Jenis, Bahan yang digunakan, Lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah dan ukuran media Reklame
Cara penghitungan Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan Peraturan Daerah sedangkan hasil perhitungan Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Wali Kota.
Tarif Pajak Reklame ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dipungut  diwilayah daerah tempat Reklame diselenggarakan, besaran tarif paling tinggi 25%.



5.  Pajak Penerangan Jalan.

Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.

Listrik yang dihasilkan sendiri  meliputi seluruh pembangkit listrik.

Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan adalah:

a.        penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b.        penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing dengan asas timbal balik;
c.        penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
d.        penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.


Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat menggunakan tenaga listrik.

Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan tenaga listrik.

Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah penyedia tenaga listrik.

Dasar Pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik. Nilai Jual Tenaga Listrik ditetapkan :

a.    Dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah Jumlah Tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/Variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik.

b.    Dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat pengunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik dan harga satuan listrik yang berlaku didaerah masing-masing.

Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dipungut  diwilayah daerah tempat penggunaan tenaga listrik dengan tarif :
1.      Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi 10 %.
2.      Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi  3 %.
3.      Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi 1,5 %.

6.  Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.

Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang meliputi:

1.      asbes;
2.      batu tulis;
3.      batu setengah permata;
4.      batu kapur;
5.      batu apung;
6.      batu permata;
7.      bentonit;
8.      dolomit;
9.      feldspar;
10.   garam batu (halite);
11.   grafit;
12.   granit/andesit;
13.   gips;
14.   kalsit;
15.   kaolin;
16.   leusit;
17.   magnesit;
18.   mika;
19.   marmer;
20.   nitrat;
21.   opsidien;
22.   oker;
23.   pasir dan kerikil;
24.   pasir kuarsa;
25.   perlit;
26.   phospat;
27.   talk;
28.   tanah serap (fullers earth);
29.   tanah diatome;
30.   tanah liat;
31.   tawas (alum);
32.   tras;
33.   yarosif;
34.   zeolit;
35.   basal;
36.   trakkit; dan
37.   Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah:

 a. kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa air/gas;

b.    kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang merupakan ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial; dan

c.    pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.

Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.

Dasar Pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah jumlah Nilai Jual Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Nilai Jual dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil pengambilan dengan Nilai Pasar atau Harga Standar masing-masing jenis Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Nilai Pasar adalah Haga Rata-rata yang berlaku dilokasi setempat di Wilayah daerah masing-masing.
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dipungut  diwilayah daerah tempat pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan dengan tariff paling tinggi 25 %

7.  Pajak Parkir.

Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat Parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.

Tidak termasuk objek pajak  adalah:

                      a.        penyelenggaraan tempat Parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
                      b.        penyelenggaraan tempat Parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
                      c.        penyelenggaraan tempat Parkir oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
                      d.        penyelenggaraan tempat Parkir lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.


Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir kendaraan bermotor.

Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan tempat Parkir.

Dasar Pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir dan di tetapkan dengan Peraturan Daerah.
Jumlah yang seharusnya dibayar termasuk potongan harga parkir dan parkir Cuma-Cuma yang diberikan kepada penerima jasa parkir.
Tarif Pajak Parkir ditetapkan dengan Peraturan Daerah Paling Tinggi 30 % dipungut  diwilayah daerah tempat Parkir berlokasi.

8.  Pajak Air Tanah.

Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.



Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah adalah:

a.    pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertaniandan perikanan rakyat, serta peribadatan; dan.

b.    pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.


Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan AirTanah.

Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan AirTanah.

Dasar Pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Auir Tanah yang dinyatakan dalam rupiah dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing Daerah antara lain :
1.      Jenis air.
2.      Lokasi sumber air.
3.      Tujuan pengambilan dan/atau pemanfa’atan air.
4.      Volume air yang diambil dan/atau dimanfa’atkan.
5.      Kualitas air.
6.      Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfa’atan air.

Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Wali Kota.
Tarif Pajak Air Tanah  ditetapkan dengan Peraturan Daerah Paling Tinggi    20 % dipungut  diwilayah daerah tempat air diambil.


9.  Pajak Sarang Burung Walet.

Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.


Tidak termasuk objek pajak Sarang Burung Walet adalah:

a.    pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);

b.    kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.

Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.


Dasar Pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung Walet.  Nilai Jual Sarang Burung Walet dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di masing-masing Daerah dengan volume Sarang Burung Walet.
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Peraturan Daerah Paling Tinggi 10 % dipungut  diwilayah daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.

10.  Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaanadalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai,dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah:

1. Jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut;
2.    jalan tol;
3.    kolam renang;
4.    pagar mewah;
5.    tempat olahraga;
6.    galangan kapal, dermaga;
7.    taman mewah;
8.    tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
9.    menara.

Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang:

a.    digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
b.    digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c.    digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
d.    merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e.    digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan
f.     digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfa’at atas Bangunan.

Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfa’at atas Bangunan.

Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Besarnya NJOP ditetapkan setiap 3 tahun, terkecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah.
Penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh Bupati/Wali Kota.
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan  ditetapkan dengan Peraturan Daerah Paling Tinggi 0,3 % dipungut  diwilayah daerah yang meliputi letak objek pajak.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 tahun kalender, menurut keadaan objek pajak per tanggal 1 Januari.


11.  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan meliputi:

a. pemindahan hak karena:

2)         jual beli;
3)         tukar menukar;
4)         hibah;
5)         hibah wasiat;
6)         waris;
7)         pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
8)         pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
9)         penunjukan pembeli dalam lelang;
10)      pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
11)      penggabungan usaha;
12)      peleburan usaha;
13)      pemekaran usaha; atau
14)      hadiah.

b.    pemberian hak baru karena:

1)     kelanjutan pelepasan hak; atau
2)     di luar pelepasan hak.
3)   hak atas tanah  adalah:

a.      hak milik;
b.      hak guna usaha;
c.      hak guna bangunan;
d.      hak pakai;
e.      hak milik atas satuan rumah susun; dan
f.       hak pengelolaan.

Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:

1.        perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
2.        negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
3.        badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
4.        orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
5.        orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
6.        orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.


Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Dasar Pengenaan Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
Nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal :
a.    Jual Beli adalah Transaksi.
b.    Tukar menukar, Hibah, Hibah Wasiat, Waris, Pemasukan dalam peseroan atau Badan Hukum lainnya, Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan, Peralihan Hak karena pelaksanaan putusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, Pemberian Hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, Permberian Hak baru atas tanah diluar pelepasan Hak, Penggabungan, Peleburan dan Pemekaran Usaha dan Hadiah berdasarkan Nilai Pasar.
c.    Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Jika Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP pada PBB maka dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP PBB.
Besarnya NJOP TKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 60.000.000,- untuk setiap Wajib Pajak.
Perolehan Hak karena Waris atau Hibah Wasiat yang diterima Orang Pribadi dalam hubungan keluarga dalam garis keturunan lurus satu derajat termasuk suami/istri NJOP TKP ditetapkan paling rendah sebesar             Rp. 300.000.000,-
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak di tetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah Paling Tinggi sebesar 5 % dipungut  diwilayah daerah tempat Tanah dan/atau Bangunan berada.
Pajak yang terutang harus dilunasi pada sa’at terjadinya perolehan hak.
Sa’at terutangnya Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan :
1)       jual beli adalah Harga Transaksi;
2)       tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,Peralihan Hak karena Putusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, Pemberian Hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak,  penggabungan,peleburan dan pemekaran usaha dan Hadiah adalah dari Nilai Pasar.
3)       Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.

Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah terdapat bukti pembayaran pajak.


2.   Retribusi Daerah.

Pengertian.

Retribusi Daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.


Objek dan Golongan Retribusi.


Objek Retribusi adalah:

1.    Jasa Umum;
2.    Jasa Usaha; dan
3.    Perizinan Tertentu.

Retribusi Jasa Umum.

Objek Retribusi Jasa Umum adalah Pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk Tujuan Kepentingan dan Kemanfa’atan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.

Jenis-Jenis Retribusi Jasa Umum yang dapat dipungut adalah :
1.      Retribusi Pelayanan Kesehatan;
2.      Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
3.      Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;
4.      Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
5.      Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
6.      Retribusi Pelayanan Pasar;
7.      Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
8.      Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
9.      Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
10.   Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;
11.   Retribusi Pengolahan Limbah Cair;
12.   Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
13.   Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
14.   Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.

Jenis Retribusi Jasa Umum dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau yang menikmati pelayanan jasa umum yang diberikan.

Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Jasa Umum.
Dalam menetapkan tarif Retribusi Jasa Umum, prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif didasarkan pada kebijakan daerah dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan.
Untuk mencapai sasaran dimaksud, penetapan tarif Retribusi Jasa Umum, antara lain, dimaksudkan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan dan membantu golongan masyarakat kurang mampu sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Dengan demikian prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum dapat berbeda menurut jenis pelayanan dalam jasa yang bersangkutan dan golongan pengguna jasa.


Retribusi Jasa Usaha.

Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:

a.    Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau

b.    Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.


Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah:

(1)       Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
(2)       Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
(3)       Retribusi Tempat Pelelangan;
(4)       Retribusi Terminal;
(5)       Retribusi Tempat Khusus Parkir;
(6)       Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
(7)       Retribusi Rumah Potong Hewan;
(8)       Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
(9)       Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
(10)    Retribusi Penyeberangan di Air; dan
(11)    Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

Subjek Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau yang menikmati pelayanan jasa usaha yang diberikan.

Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Jasa Usaha.
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

Retribusi  Perizinan Tertentu.

Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah:

1.      Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
2.      Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
3.      Retribusi Izin Gangguan;
4.      Retribusi Izin Trayek; dan
5.      Retribusi Izin Usaha Perikanan.

Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh izin tertentu dari Pemerintah Daerah.

Wajib Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau Badan yang diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Perizinan Tertentu.

Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.



Penghitungan Sanksi, Keberatan dan Banding.

A.       Sanksi Administrasi.

Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.

Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang undangan perpajakan.

Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Kepala Daerah, dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan. Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis dan nota perhitungan.

Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan:

a.  SKPDKB dalam hal:

1)     jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2)     jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
3)     jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan.

b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.

c.    SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB  dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT  dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100%(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

Kenaikan tidak dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluhlima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.

Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT  diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.

Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kedaluarsa setelah malampaui    5 Tahun terhitung sa’at terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.

Kedaluarsa penagihan pajak tertangguh apabila diterbitkan surat Teguran dan/atau Surat Paksa atau ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.

Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kedaluarsa setelah malampaui    3 Tahun terhitung sa’at terutangnya retribusi, kecuali apabila Wajib Retribusi  melakukan tindak pidana di bidang Retribusi daerah.

Kedaluarsa penagihan Retribusi tertangguh apabila diterbitkan surat Teguran dan/atau Surat Paksa atau ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.


B.    Sanksi  PIDANA


Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.


Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.


Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan Daerah diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak         Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah).

Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Penuntutan terhadap tindak pidana hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

Denda yang diterima merupakan penerimaan daerah.




C.           Keberatan dan Banding.

Persyaratan Formal Keberatan.

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:

a.      SPPT;
b.      SKPD;
c.      SKPDKB;
d.      SKPDKBT;
e.      SKPDLB;
f.       SKPDN; dan
g.      Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan daerah.

Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecualijika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.

Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.

Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (duabelas) bulan, sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.

Yang ditetapkan telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.


Persyaratan Formal Banding.


Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.

Permohonan banding sebagaimana diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut.

Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.

Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan.

Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.


D.           Pembukuan dan Pemeriksaan.

Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit                    Rp. 300.000.000,- per tahun diwajibkan menyelenggarakan Pembukuan.

Kepala Daerah berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan kewajiban Retribusi Daerah dalam rangka melaksanakan peraturan Per Undang-Undangan Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah.

Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang diperiksa berkewajiban :

1.      Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak atau objek retribusi yang terutang.

2.      Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan.




PERATURAN DAERAH (PERDA)


1.     Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah.

Didalam Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah harus memenuhi ketentuan Tata Cara Penyusunan Peraturan Daerah yang Telah ditetapkan seperti :
1.  Satu Pajak Daerah ditetapkan dengan Satu Peraturan Daerah.
2.  Peraturan Daerah tentang Pajak tidak dapat berlaku surut.
3. Peraturan Daerah tentang Pajak sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai:
a.        nama, objek dan subjek pajak;
b.        dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
c.        wilayah pemungutan;
d.        masa pajak;
e.        penetapan;
f.         tata cara pembayaran dan penagihan;
g.        kedaluwarsa;
h.        sanksi administrasi;
i.         tanggal mulai berlakunya.
Peraturan Daerah tentang Pajak dapat mengatur ketentuan mengenai:
a.      pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan atau sanksinya;
b.      tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa;
c.      asas timbal balik.

2.   Peraturan Daerah Tentang Retribusi Daerah.

Didalam Peraturan Daerah Tentang Retribusi Daerah harus memenuhi ketentuan Tata Cara Penyusunan Peraturan Daerah yang Telah ditetapkan seperti :
1. Satu Retribusi Daerah ditetapkan dengan Satu  Peraturan Daerah.
2. Peraturan Daerah tentang Retribusi tidak dapat berlaku surut.
3. Peraturan Daerah tentang Retribusi sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai:
a.      nama, objek dan subjek retribusi;
b.      golongan retribusi;
c.      cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan;
d.      prinsip yang dianut dalam penetapan struktur besarnya tarif retribusi;
e.      struktur dan besarnya tarif retribusi;
f.       wilayah pemungutan;
g.      penentuan pembayaran, tempat pembayaran, angsuran dan penundaan pembayaran;
h.      sanksi administratif;
i.       penagihan;
j.       penghapusan piutang retribusi yang kedaluarsa;
k.      tanggal mulai berlakunya.
Peraturan Daerah tentang Retribusi dapat juga mengatur ketentuan mengenai:
a.      Masa Retribusi;
b.      Pemberian keringanan, pengurangan dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok retribusi dan atau sanksinya;
c.      Tata cara penghapusan piutang retribusi yang kedaluwarsa;


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akuntansi Bank

PBB

Laboratorium Pajak Daerah