Pajak Internasional
PAJAK INTERNASIONAL
Latar Belakang berlakukanya Pajak Internasional
(International Taxation)
Pada
sa’at sekarang, Pajak merupakan penerimaan Negara yang paling dominan dan
primadona dibandingkan beberapa dekade yang
lalu, dimana pajak hanya merupakan penerimaan pelengkap atau pendamping dari
penerimaan dari sektor migas. Sa’at ini,
Pajak merupakan tulang punggung penerimaan Negara, sebagaimana fungi budgeter
dan fungsi regulernya, bahwa pajak berfungsi didalamnya sebagai sumber
penerimaan Negara, sebagai instrument untuk melakukan kebijakan ekonomi suatu
Negara, dan sebagai alat untuk mencapai pemerataan pendapatan masyarakat. Terlebih secara extrim dapat dikatakan bahwa “pajak merupakan suatu instrument yang
paling ampuh untuk melakukan pemerataan ekonomi masyarakat, baik secara
langsung maupun melalui pembangunan (tidak langsung). Pajak juga dapat
berfungsi sebagai alat untuk melakukan distribusi pendapatan dari yang kaya
kepada yang miskin, dari kelompok elite kepada kelompok minoritas.
Setiap
Negara yang berdaulat berdasarkan asas pemungutan pajak tertentu, seperti asas
sumber, atau asas domisili atau gabungan dari beberapa asas pemungutan pajak
terhadap penduduk (warganegaranya) yang berada di wilayah suatu Negara. Bagi
Negara yang menganut asas “World Wide Income”, dapat mengenakan pajak terhadap orang asing (non alien resident) yang
berada pada wilayah Negara tersebut, hanya dapat dilakukan dalam hal terdapat
hubungan ekonomis antara orang asing dengan negara yang bersangkutan
(memperoleh penghasilan atau memiliki harta yang berada di negara asing).
Wewenang suatu negara untuk mengenakan
pajak terbatas, dalam arti, terbatas
pada wilayah negara tertentu, terbatas pada subyek yang berada pada wilayah
negara tersebut, terbatas pada obyek (Soemitro;1967), juga dibatasi oleh
kebiasaan-kebiasaan (konvensi) yang diakui oleh dunia internasional. Keterbatasan
berlakunya perundang-undangan pajak pada wilayah tertentu, berarti bahwa
ketentuan perpajakan tidak dapat dipaksakan untuk berlaku di wilayah negara lain;
jadi suatu negara tidak dapat mengirimkan aparaturnya ke negara lain untuk
mencari informasi, atau melakukan kegiatan dan tindakan administratif
perpajakan di luar negeri tanpa persetujuan negara yang bersangkutan.
Keterbatasan pada subyek, dimaksudkan adalah adanya pembebasan pengenaan pajak
terhadap wakil-wakil diplomatik yang berada di suatu negara (berdasarkan
konvensi). Obyek yang diperoleh para wakil diplomatik beserta anggota
keluarganya tidak dapat dikenakan pajak karena adanya asas eksteritorial yang diakui oleh dunia internasional.
Di era globalisasi sekarang ini
terdapat perkembangan kegiatan ekonomi yang menglobal dan menumbuhkan investasi
internasional yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari
sisi perpajakan, globalisasi menciptakan permasalahan sendiri. Transaksi lintas
negara menimbulkan konsekwensi pemajakan yang tidak sederhana karena setiap
negara mempunyai kedaulatan dalam memajakan lalu lintas ekonomi, baik atas
penduduk maupun bukan penduduk yang ada di negaranya. Akibatnya, transaksi
lintas negara menimbulkan benturan dalam masalah yuridiksi dan hak
pemajakannya.
Pesatnya kegiatan ekonomi di era
globalisasi ini telah melewati batas-batas negara, sehingga menimbulkan
permasalahan tersendiri dari sisi perpajakan. Prinsip-prinsip pemajakan yang
berbeda-beda di setiap negara dapat memunculkan pajak berganda
internasional (international double taxation).
Perkembangan dan perubahan-perubahan
perekonomian di dunia (era globalisasi) telah memungkinkan subyek pajak suatu
negara untuk melakukan kegiatan usaha di negara lain, timbulnya perusahaan-perusahaan
multinasional, mudahnya perpindahan harta dari satu negara ke negara lain,
serta pembentukan organisasi-organisasi perekonomian tertentu seperti MEE
(Masyarakat Ekonomi Eropah), perjanjian-perjanjian multilateral seperti AFTA
(Asian Free Trade Agrement), GATT (Government Agreement on Tarrif and Trade)
dan lain-lain turut berpengaruh dan membatasi wewenang suatu negara untuk
memungut pajak. Kondisi semacam itu menyebabkan timbulnya peluang bagi wajib
pajak untuk menghindari dari pengenaan pajak, menimbulkan terjadinya pengenaan
pajak ganda, yang merupakan bentrokan wewenang suatu negara untuk memungut
pajak, sedangkan hukum pajak yang berlaku internasional belum ada. Yang
dimaksud dengan pengenaan pajak ganda, adalah subyek yang sama menanggung beban
pajak ganda karena dikenakan pajak pada dua negara atas obyek pajak yang sama.
Untuk
mengatasi situasi demikian maka diperlukan adanya Hukum Pajak Internasional (internasional law).
Hukum Pajak Internasional
Hukum
Pajak Internasional pada dasarnya adalah hukum
perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa, karena adanya unsur
asing baik mengenai subyek atau obyek, sebagaimana dikemukakan oleh Ottmar
Buhfer. Hukum perselisihan adalah keseluruhan kaedah yang mengatur bentrokan
dua sistem hukum negara atau lebih (Soeitro; 1967). Unsur asing mengenai
subyek, menunjukkan adanya orang asing sebagai subyek pajak berdasarkan
undang-undang perpajakan nasional, dan unsur asing mengenai obyek berarti
adanya obyek yang dimiliki Wajib Pajak Dalam Negeri yang berada diluar wilayah
suatu negara.
Pengertian Hukum Pajak Internasional,
menurut pendapat Prof, Dr. Rochmat Soemitro, SH (1967) adalah:
“Hukum pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri dari kaedah, baik kaedah-kaedah nasional maupun kaedah yang berasal dari traktat antar negara dan terdiri dari prinsip/kebiasaan yang telah diterima baik oleh negara-negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai obyeknya”.
Sebagaimana uraian diatas,
keterbatasan wewenang suatu negara untuk memungut pajak memungkinkan terjadinya
penghindaran pengenaan pajak, serta memungkinkan timbulnya beban pajak ganda,
telah mendorong negara-negara di dunia untuk melakukan kerja sama dibidang
perpajakan, Hukum Pajak Internasional
selain untuk mengatasi kemungkinan terjadinya bentrokan hukum, juga mengatur
kerja sama di bidang perpajakan, seperti saling memberi informasi yang berguna
bagi pengenaan pajak dan turut membantu dalam hal penagihan pajak. Oleh sebab
itu dapat dikatakan bahwa fungsi paling utama Hukum Perpajakan Internasional
adalah untuk menghindarkan pengenaan pajak berganda (double taxation), dan
untuk menghindarkan penyeludupan pajak (tax evasion dam tax avoidance), melalui
kerjasama saling tukar menukar informasi serta bantuan pelaksanaan penagihan
pajak.
Sumber Hukum Pajak Internasional
Sesuai
dengan rumusan diatas, sumber Hukum Pajak Internasional (Soemitro; 1976)
adalah:
- Kaedah hukum nasional, adanya kaedah-kaedah hukum nasional untuk menghindarkan pengenaan pajak ganda; ketentuan tersebut dimuat dalam undang-undang perpajakan nasional secara unilateral.
- Kaedah yang berasal dari traktat (perjanjian antar negara) baik yang dilakukan secara bilateral maupun secara multilateral. Misalnya, dalam perjanjian tersebut dikemukakan pengertian domisili, pengertian persekutuan yang mungkin berbeda dengan rumusan domisili atau persekutuan dalam hukum pajak nasional masing-masing negara yang mengadakan perjanjian.
- Perjanjian perdagangan, perjanjian persahabatan, perjanjian diplomatik sering pula mengatur masalah perpajakan. Misalnya, perjanjian antar negara seperti GATT; pada dasarnya wewenang negara untuk menetapkan tarif bea masuk atas impor barang-barang tertentu telah berkurang, negara tersebut harus mengikuti ketentuan yang sudah diperjanjikan bersama. Demikian pula dalam perjanjian diplomatik seperti Konvensi Wiena (1961) yang mengatur tentang kekebalan diplomatik, mengatur pula ketentuan tentang perpajakan.
- Hukum antar bangsa, yaitu berkenaan dengan prinsip-prinsip yang diakui secara internasional sehingga merupakan hukum internasional; misalnya asas atau prinsip eksteritorial, yang menetapkan bahwa daerah eksteritorial itu merupakan suatu daerah negara asing di suatu negara, dan hukum negara yang bersangkutan (host country) tidak berlaku di daerah eksteritorial. Oleh karenanya hukum pajak juga tidak berlaku di daerah tersebut. Dengan demikian maka para wakil diplomatik negara asing memperoleh kekebalan hukum terhadap ketentuan pajak dari negara tuan rumah (host country).
- Hukum masyarakat antar negara, seperti Masyarakat Economi Eropah (MEE) telah membatasi wewenang suatu negara untuk memungut pajak.
Asas-asas dalam Hukum Pajak Internasional
Transaksi lintas negara dapat
menimbulkan permasalahan dalam bidang perpajakan. Hukum Pajak
Internasional Indonesia secara umum dapat dikatakan berlaku terbatas hanya pada
subyek dan obyek yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap
orang atau badan yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak dikenakan pajak berdasarkan
undang-undang Indonesia. Namun demikian, Hukum Pajak Internasional Indonesia
dapat berkaitan (berhubungan) dengan subyek maupun obyek yang berada di luar
wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan yang erat, yaitu dalam hal terdapat
hubungan ekonomis atau hubungan kenegaraan dengan Indonesia.
Asas-asas
yang dianut dalam Hukum Pajak Internasional (Soemitro; 1976) adalah :
Asas Kedaulatan
Berdasarkan
asas kedaulatan (fiscal sovereignty
principle), setiap negara bebas dan berewenang untuk memungut pajak terhadap
penduduknya berdasarkan asas-asas pemungutan pajak seperti asas “World Wide
Income” atau terhadap orang asing yang berada pada wilayah kedaulatan negara
tersebut, yang batas wilayah kedaulatannya meliputi wilayah darat, udara, dan
laut.
Asas Keadilan
Asas tersebut pada umumnya dianut
dalam sistem hukum pajak di seluruh dunia, Asas yang disebut “Tha Canons of
Taxation” tersebut diperkenalkan oleh Adam Smith terdiri atas asas: “Equity,
Certainty, Convenience of Payment, dan Economic of Collection”. Berdasarkan
salah satu canon yaitu “equity” atau keadilan, yang maksudnya, pengenaan pajak
harus merata kepada setiap orang (horizon equity), dan adanya keseimbangan
beban pajak antara mereka yang berpenghasilan besar dan yang berpenghasilan
kecil (vertical equity). Pengertian keadilan berarti pula bahwa pengenaan pajak
juga berlaku bagi orang asing yang memperoleh hasil dari perekonomian suatu
negara (orang asing layak untuk turut memikul beban pajak).
Asas Negara Hukum
Yang
dimaksud dengan asas tersebut, bahwa suatu negara berwenang untuk mengenakan
pajak apabila telah ditetapkan dengan suatu undang-undang. Dalam suatu negara
hukum, suatu ketentuan undang-undang mengikat semua orang, termasuk unsur pemerintah harus mematuhi semua ketentuan undang-undang yang berlaku pada suatu
negara.
Asas Teritorial (Wilayah)
Berdasarkan
asas teritorial atau asas wilayah tersebut, hak mengenakan pajak berlaku bagi
semua subyek yang bertempat tinggal dalam wilayah suatu negara. Dengan
demikian, maka orang asing yang turut serta dalam perekonomian suatu negara
akan dikenakan pajak yang sama dengan warganegaranya. Oleh karenanya orang yang
meninggalkan wilayah suatu negara akan kehilangan kewajiban perpajakannya di
negara tersebut. Adapun yang dimaksud dengan batas suatu wilayah sama dengan
wilayah suatu negara.
Berdasarkan azas ini, pajak
dikenakan atas penghasilan yang diperoleh di wilayah (teritorial) suatu negara.
Jadi yang dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang diperoleh dalam wilayah
negara tersebut, sehingga atas penghasilan yang diperoleh dari luar negara
tersebut tidak dikenakan pajak.
Prinsip-prinsip pemajakan berbeda
yang dianut di masing-masing negara menjadi cikal bakal munculnya pajak
berganda internasional ( international double taxation).
Pada dasarnya pajak internasional
berlandaskan pada ketentuan perpajakan domestik yang berlaku terhadap wajib
pajak dalam negeri yang memperoleh penghasilan dari luar negeri dan terhadap
wajib pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia. Selain
ketentuan domestik pajak internasional juga berlandaskan pada perjanjian
perpajakan dan praktik perpajakan (Gunadi, 1970). Dengan kata lain, pajak
internasional akan berbicara mengenai bagaimana pemajakan atas penghasilan
orang asing atau perusahaan (badan) asing yang diterimanya dari Indonesia, dan
bagaimana pemajakan atas penghasilan orang atau perusahaan (badan) Indonesia
atas penghasilan yang diterima dari luar negeri, dengan berdasarkan
undang-undang domestik dan undang-undang negara lain, serta perjanjian
perpajakan (tax treaty)
Dimensi pajak internasional cukup
luas, meliputi aturan pajak internasional yang sudah ada dalam Undang-undang
Pajak Indonesia, aturan perpajakan yang ada di UU. Pajak Negara lain yang
bersinggungan serta persetujuan penghindaran pajak yang telah dibuat Indonesia
dengan negara lain. Dengan demikian pemajakan transaksi lintas negara dapat
dilakukan dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan Pajak Internasional.
Asas Universalitas
Asas
universalitas disebut juga asas “World Wide Income”, yang maksudnya suatu asas
yang memberikan wewenang kepada suatu negara untuk menenakan pajak atas
penghasilan yang diperoleh subyek pajak tanpa menghiraukan tempat dimana
penghasilan tersebut diperoleh.
Asas Negara Tempat Tinggal (Domisili)
Berdasarkan
azas domisili , subyek pajak dikenakan pajak di negara tempat subyek pajak
tersebut berdomisili. Umumnya, negara ini menerapkan prinsip world wide income,
yaitu penghasilan akan dikenakan pajak di negara domisili, baik yang diperoleh
dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Indonesia termasuk negara yang
menggunakan azas ini.
Asas
tempat tinggal (domicile principle),
memberikan wewenang kepada negara untuk mengenakan pajak terhadap mereka yang
bertempat tinggal pada suatu negara tanpa memandang kewarganegaraan subyek.
Asas Sumber
Asas
sumber (source atau situs principle)
adalah suatu asas yang memberikan wewenang kepada negara sumber penghasilan
untuk memungut pajak terhadap siapapun yang memperoleh hasil dari sumber yang
berasal dari negara tersebut. Misalnya suatu perusahaan yang berdomisili di
negara asing memberikan jasa konsultasi di Indonesia, maka Indonesia adalah
negara sumber atau asal dari penghasilan yang diperoleh perusahaan asing
tersebut, oleh karenanya Indonesia berhak untuk mengenakan pajak terhadap
perusahaan tersebut.
Asas Kebangsaan
Asas
kebangsaan (Nationality principle)
adalah suatu asas yang memberikan wewenang mengenakan pajak terhadap subyek
(orang) karena status kewarganegaraannya tanpa memandang tempat tinggal atau
domisili subyek. Subyek akan dikenakan pajak oleh negaranya dimana pun dia
berada, atas penghasilan yang diperoleh dari sumber di negaranya dan yang
bersumber diluar negeri. Hanya beberapa negara yang menganut asas kebangsaan
dalam system hukum pajak nasionalnya, antara lain, Amerika Serikat, Pilipina,
dan Mexico yang digabungkan dengan asas-asas perpajakan lain (Fundamentals Of
International Taxation; Seminar; 1993).
Asas Pendirian Tetap (Permanent Establishment)
Permanent
establishment adalah suatu tempat yang berfungsi untuk melakukan kegiatan usaha
di negara lain, dan sekaligus digunakan sebagai dasar dan syarat untuk
memberikan hak pengenaan pajak kepada negara sumber; oleh karenanya,
berdasarkan asas tersebut hak pemajakan atas permanent establishment diberikan
kepada negara asing dimana permanent establishment berada.
Keterbatasan Hukum Pajak Internasional
Hukum
Pajak Internasional, berdasarkan definisi diatas terdiri dari kaedah hukum
nasional yang terdapat unsur asing tentang subyek dan obyeknya; walaupun
demikian sumber hukumnya terdiri dari hukum nasional, traktat, perjanjian
bilateral maupun multilateral, dan kebiasaan-kebiasaan internasional yang
diakui secara internasional, namun dalam pelaksanaannya terdapat pula kelemahan
atau keterbatasan, yaitu :
- Pengecualian pengenaan pajak terhadap wakil diplomatik negara asing. Pengecualian perwakilan diplomatik negara asing dari pengenaan pajak penghasilan oleh suatu negara yang berdaulat didasarkan pada konvensi internasional (“Convention on Diplomatic relations”) yang ditandatangani pada tangal 13 April 1961 di Wiena, umumnya dianut sebagai kebiasaan (“Act of Courtesy”) dalam Hukum Pajak Internasional, namun tidak terdapat larangan bagi suatu negara untuk mengenakan pajak atas penghasilan para wakil diplomatik negara asing.
- Dalam hal tidak terdapat perjanjian perpajakan atau tidak terdapat kebiasaan tentang perpajakan dalam hukum pajak internasional, setiap negara bebas untuk memungut pajak penghasilan terhadap penduduknya atau terhadap orang asing yang ada di wilayah negaranya atas penghasilan dan harta yang diperoleh mereka dari luar wilayah negaranya.
- Larangan tidak boleh beroperasinya petugas pajak suatu negara dinegara asing tanpa persetujuan lebih dulu dari negara bersangkutan merupakan suatu aturan yang meragukan dan diperdebatkan dalam seminar perpajakan internasional. Hal ini disebabkan, negara asing dapat saja melakukan tindakan administrasi di negara asing tanpa kehadirannya, yaitu melalui pihak ketiga seperti meminta Perusahaan Jasa Akuntansi Internasional untuk mengaudit Wajib Pajaknya yang mempunyai kegiatan usaha diluar negeri. Dengan cara demikian, pada dasarnya perusahaan tersebut adalah kepanjangan tangan administrasi pajak negara lain.
Domisili Fiskal
Pengertian
Domisili fiskal (fiscal
domicile) atau fiscal resident adalah status
kependudukan yang digunakan untuk tujuan pemajakan. UU PPh Indonesia
menggunakan istilah subyek pajak dalam negeri untuk penduduk dan istilah subyek
pajak luar negeri untuk bukan penduduk.
Surat Keterangan Domisili (SKD)
Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence (COD) digunakan untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak tertentu adalah Subjek Pajak Dalam Negeri (resident) dari suatu Negara tertentu yang menandatangani P3B.
SKD
adalah persyaratan administratif bagi WPLN untuk menggunakan fasilitas yang ada
dalam P3B. Apabila WPLN tidak dapat melampirkan SKD yang diterbitkan oleh
otoritas negaranya dalam laporan perpajakannya di Indonesia, maka
pemotong/pemungut pajak, wajib
memotong/memungut pajak atas penghasilan yang
diperoleh di Indonesia sesuai peraturan perpajakan yang berlaku di
Indonesia.
Begitu
pula dengan WPDN Indonesia yang memperoleh penghasilan dari Negara Mitra,
apabila WPDN Indonesia tidak dapat melampirkan SKD yang diterbitkan oleh otoritas
Indonesia maka WPDN tersebut akan dikenakan pajak atas penghasilan dari Negara
Mitra sesuai peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Mitra tersebut.
SKD diterbitkan atau disahkan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili berdasarkan permohonan Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan KPP domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar. KPP Domisili menerbitkan SKD dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan Wajib Pajak secara lengkap.
Formulir
SKD yang diterbitkan adalah form DGT-7 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II
PER-35/PJ/2010 atau menggunakan formulir khusus yang digunakan oleh Negara
Mitra P3B. Masa berlaku SKD adalah 12 bulan sejak tanggal disahkan.
Isi
SKD menerangkan bahwa Wajib Pajak bersangkutan adalah Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia, yang berdomisili/menjalankan usahanya di wilayah KPP domisili dan
telah melaporkan SPT Tahunan PPh pada Tahun Pajak yang dimaksud. Bagi Wajib
Pajak luar negeri, SKD yang diterbitkan Negara Mitra adalah sesuai kelaziman di
Negara tempat WPLN berkedudukan, namun sekurang-kurangnya harus menyatakan
bahwa WPLN yang bersangkutan benar bekedudukan di Negara tersebut sesuai dengan
peraturan P3B yang berlaku, disertai dengan tanggal dan tanda tangan pejabat
yang menerbitkan SKD tersebut.
Subyek Pajak Dalam Negeri.
Sesuai Pasal 2 ayat (3) UU PPh ,
maka kriteria dari subyek dalam negeri adalah sbb :
1. Orang pribadi;
2. Badan;
3. Warisan yang belum terbagi.
Subyek pajak orang pribadi dalam
negeri menjadi wajib pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan
yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Subyek pajak badan dalam negeri
menjadi wajib pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di
Indonesia.
Subyek Pajak Luar Negeri:
1. Orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 ( seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
2. Orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia , yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Subyek pajak luar negeri, baik orang
pribadi maupun badan sekaligus merupakan wajib pajak, karena menerima dan/atau
memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima/ atau
memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia.
Penghasilan wajib pajak luar negeri
yang menjadi obyek pemotongan PPh Pasal 26 adalah
- Dividen;
- bunga termasuk premium, dikonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
- royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
- imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
- hadiah dan penghargaan ;
- pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
- premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
- keuntungan karena pembebasan utang.
Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak (Refund) yang Seharusnya Tidak terutang.
Wajib
Pajak Luar Negeri dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan
pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang dalam hal:
terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berupa:
Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur dalam P3B;
pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak; pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut;
atau pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut.
terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berupa:
Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur dalam P3B;
pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak; pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut;
atau pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut.
Atau terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak:
- Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut;
- Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut; atau
- Pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 10/PMK.03/ 2013 , Wajib Pajak yang berhak mengajukan permohonan
pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang
karena kesalahan pemotongan atau pemungutan dan telah disetorkan dan dilaporkan
adalah Wajib Pajak Dalam Negeri atau Pengusaha Kena Pajak dan Wajib Pajak Luar
Negeri yang yang menjalankan kegiatan atau usaha melalui Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia.
Sedangkan
bila pihak yang dipotong atau dipungut merupakan Wajib Pajak Luar Negeri yang
tidak menjalankan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,
permohonan pengembalian dapat
dilakukan melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan pemungutan.
Permohonan
pengembalian diajukan atas suatu bukti pembayaran, bukti pemotongan/pemungutan
pajak, faktur pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak.
Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan format
sesuai peraturan beserta lampiran terkait dan ditandatangani oleh Wajib Pajak
terkait ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemohon terdaftar.
Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak melalui KPP terkait melakukan peneltian atas permohonan dan dapat meminta dokumen pendukung yang diperlukan kepada Wajib Pajak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kelebihan pembayaran akan dikembalikan melalui Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Tujuan Kebijakan
Perpajakan Internasional
Pengertian Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda ( P3B ) adalah perjanjian pajak antara dua negara secara
bilateral. Persetujuan penghindaran pajak ini mengatur mengenai pembagian hak
pemajakan yang diterima atau diperoleh penduduk dari salah satu atau kedua
negara pada pihak persetujuan.
Tujuan diadakannya Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda ( P3B ) ini adalah untuk menghindari adanya
pemajakan berganda atas penghasilan yang diterima atau diperoleh subyek yang
sama.
P3B membatasi hak pemajakan suatu
negara untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan tertentu. Ketika
masing-masing ketentuan domestik suatu negara sama-sama mengenakan pajak atas
penghasilan yang sama, maka berdasarkan P3B , hak masing-masing negara untuk
mengenakan pajak atas suatu penghasilan tersebut dapat
dihilangkan atau dibatasi. Dengan kata lain, ketika suatu negara mengadakan
P3B, maka negara tersebut setuju untuk dibatasi haknya dalam mengenakan pajak
berdasarkan pembatasan yang diatur dalam P3B.
Kedudukan P3B di Indonesia terhadap
UU Pajak Penghasilan diperlakukan sebagai lex specialis, sehingga
apabila ada pertentangan antara UU Domestik Indonesia dengan P3B, maka
atuaran-aturan yang ada dalam P3B akan didahulukan.
P3B tidak memberikan hak pemajakan
baru kepada negara yang mengadakan P3B.Pengenaan pajak suatu negara atas suatu
penghasilan, didasarkan atas ketentuan domestik negara tersebut. Dengan
demikian, apabila dalam P3B suatu negara diberi hak pemajakan atas suatu
penghasilan tertentu, akan tetapi negara tersebut berdasarkan hukum domestik
tidak mengenakan pajak atas penghasilan tertentu tersebut, maka negara tersebut
tidak dapat mengenakan pajak atas penghasilan tertentu tersebut , walaupun P3B
memberikan hak pemajakan kepada negara tersebut.
Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang merupakan
Warga Negara Indonesia berubah statusnya menjadi Subjek Pajak luar negeri dalam
bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga hari) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan dapat menunjukkan salah satu
dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk luar negeri
yang dapat berupa:
- green card;
- identitiy card;
- student card;
- pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
- surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; atau
- tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.
Dengan perubahan status tersebut, penghasilan yang
diterima sehubungan pekerjaan yang dilakukan di luar Indonesia dan penghasilan
lainnya yang bersumber dari luar Indonesia, tidak dikenakan pajak di Indonesia.
P3B (Tax
Treaty)
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah
perjanjian pajak antara 2 (dua) negara (bilateral) yang mengatur mengenai
pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh
penduduk dari salah satu atau kedua negara yang melakukan perjanjian (both
Contracting States).
Pembagian
hak pemajakan tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya
pengenaan pajak berganda. Pencegahan pajak berganda tersebut diatur dengan
membatasi hak pemajakan dari negara sumber atas penghasilan yang timbul dari
wilayah juridiksinya.
Tujuan diadakannya P3B adalah:
- Mencegah terjadinya pemajakan berganda, serta mencegah terjadinya penghindaranpajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion);
- Memberikan kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua Negara;
- Peningkatan investasi dan Sumber Daya Manusia;
- Pertukaran informasi melalui Exchange Of Information (EOI) guna mencegah penghindaran pajak; dan
- Penyelesaian sengketa melalui Mutual Agreement Procedure (MAP), dan bantuan dalam penagihan pajak.
Pasal 32A Undang-Undang Pajak
Penghasialn menjelaskan bahwa
“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”
Kedudukan
P3B adalah lex specialist terhadap Undang-Undang domestik
(aturan hukum khusus akan mengesampingkan aturan hukum umum). Artinya jika ada
ketentuan dalam undang-undang domestik yang bertentangan dengan ketentuan dalam
P3B maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B. Dalam menentukan hak pemajakan,
azas yang digunakan adalah sumber penghasilan, status kewarganegaraan, dan
status kependudukan. Pada awalnya tax
treatybertujuan mengurangi double
taxation sehingga aturan yang ada dalam tax treaty mengurangi hak
pemajakan both contracting
states. Kelemahan
ini kemudian dimanfaatkan tax planner untuk
menghindari pajak sehingga wajib pajak bebas pajak. Negara-negara
kemudian sadar adanya double
non-taxation.
Dalam perpajakan internasional, terdapat 3 (tiga) metode hak
pemajakan.
- Pertama, pemajakan unilateral dimana hak pemajakan di dalam wilayah kedaulatan Indonesia diatur sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia dan berlaku bagi seluruh masyarakat atau badan internasional yang ada di wilayah Indonesia.
- Kedua, metode pemajakan bilateral (tax treaty) dimana hak pemajakan diatur melalui perjanjian antara kedua negara yang mengatur hak pemajakan atas penghasilan dan warga negara kedua belah pihak.
- Ketiga, metode pemajakan multilateral (tax convention) yang didasari oleh konvensi internasional dimana ketentuan atau ketetapan atau keputusan yang dihasilkan digunakan untuk kepentingan negara-negara tersebut.
Hal-hal yang diatur dalam perjanjian P3B diantaranya adalah:
- subjek pajak yaitu pengaturan terhadap Subjek Pajak Dalam Negeri, Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT);
- objek pajak yaitu antara lain penghasilan atas kegiatan usaha, penghasilan atas penjualan saham dan aset, dividen, bunga, royalti, dan penghasilan atas jasa tertentu;
- jenis pajak, tarif, dan kondisi khusus lainnya yang secara umum menjadi sengketa atau rentan terjadi pemajakan berganda; serta
- prosedur dalam melaksanakan MAP, EOI, dan bantuan penagihan pajak.
Sedangkan metode penghindaran pajak berganda yang digunakan yaitu dengan
pembebasan/pengecualian pajak, kredit pajak, dan metode lainnya seperti
pembagian/pengurangan tarif dan pemajakan dengan jumlah tetap.
Model
perjanjian yang digunakan di Indonesia adalah:
- Model OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Merupakan model P3B untuk negara-negara maju. Model ini mengedepankan asas domisili Negara yang memberikan jasa atau menanamkan modal.
- Model UN (United Nation). Merupakan model P3B untuk negara-negara berkembang. Model ini lebih mengedepankan asas sumber penghasilan, dimana hak pemajakan berada pada Negara yang memberi penghasilan.
Kedua model perjanjian diatas adalah
dasar dari pembuatan P3B Indonesia dengan negara mitra, namun pada
pelaksanaannya, bentuk P3B yang digunakan dibuat berdasarkan kondisi dan
kepentingan Indonesia pada saat perjanjian berlangsung. sehingga bentuk P3B
Indonesia tidak baku dan merupakan gabungan dari kedua model perjanjian diatas.
Setiap
kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga dengan
kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai
yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di
masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang
menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah satu upaya untuk
meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan Pajak
Berganda Internasional.
Hasil yang diharapkan dari P3B antara lain:
a. Tidak
terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim usaha dunia
b.
Peningkatan investasi modal dari luar negeri ke dalam negeri
c. Peningkatan
sumber daya manusia
d.
Pertukaran informasi untuk mencegah penghindaran pajak
e. Keadilan
dalam hal pemajakan penduduk dari negara yang terlibat dalam perjanjian.
Pajak
internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik berupa
kaedah-kaedah nasioal maupun kaedah yang berasal dari traktat antarnegara dan
dari prinsip yang telah diterima baik oleh Negara-negara di dunia, untuk
mengatur soal-soal perpajakan dan dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing,
baik mengenai subjek maupun mengenai objeknya.
Setiap
Negara memiliki peraturan perundang-undangan perpajakan nasional
sendiri-sendiri atau yang disebut dengan yurisdiksi nasional, yang
masing-masing peraturan perundang-undangan dimaksud memiliki landasan dan
filosofi hukum yang berbeda dengan Negara-negara lainnya.
Dalam rangka
melakukan investasi di Negara lain maupun dalam rangka suatu Negara menerima
investasi dari Negara lain pasti akan terjadi beberapa konflik kepentingan.
Sebagai contoh, Indonesia menganut konsep pengakuan penghasilan, yaitu konsep
tambahan kemampuan ekonomis atau juga disebut world wide income. Artinya
peraturan perundang-undangan pajak penghasilan tidak mempermasalahkan darimana
datangnya penghasilan, bagaimana penghasilan tersebut diterima atau diperoleh,
dan dalam bentuk apa penghasilan tersebut.
Semua adalah
objek pajak penghasilan yang harus dikenakan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
Indonesia, baik Wajib Pajak orang pribadi, badan, maupun Bentuk Usaha Tetap.
Sehingga ada kemungkinan terjadi benturan (konflik) dalam pengenaan pajak
dengan Negara lainyang menganut asas pemajakan berbeda dengan Indonesia, misalnya Negara yang menganut asas pemajakan kebangsaan (kewarganegaraan).
Negara yang menganut asas kebangsaan tidak mempermasalahkan dari mana
penghasilan diterima atau diperoleh, seseorang tetap diwajibkan membayar pajak
di Negara di mana dia berkebangsaan.
Pajak Ganda (Double Taxation).
Pajak ganda internasional terjadi
karena pada dasarnya tidak ada hukum internasional yang mengatur tentang
hal tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar dua negara atau lebih.
Pajak berganda internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara
atau lebih saling menindih, sedemikian rupa sehingga orang-orang yang dikenakan
pajak di negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih
besar daripada jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja. Beban tambahan
yang terjadi bukan semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari
negara-negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih
bersamaan memungut pajak atas obyek dan subyek yang sama.
Pajak ganda internasional akan
timbul, karena atas satu obyek dan subyek pajak yang sama dikenakan pajak lebih
dari satu kali sehingga menimbulkan beban berat bagi subyek pajak yang
dikenakan tersebut.
Prinsip Non Diskriminasi.
Untuk tujuan perpajakan pada
prinsipnya dikenal non diskriminasi (tidak membedakan) pengenaan pajak
antara WP dalam negeri (WPDN) dan WP luar negeri (WPLN). Berdasarkan UU PPh
Indonesia dikenal istilah subjek pajak dalam negeri (resident)
dan istilah subjek pajak luar negeri untuk bukan luar penduduk
(non resident). Pada umumnya, domisili fiskal tidak selalu dikaitkan dengan
status kewarganegaraan seseorang atau penduduk menurut UU kependudukan. Indonesia
termasuk negara yang menentukan domisili fiskal tanpa melihat apakah seseorang
tersebut berkewarganegaraan atau tidak. Sedangkan Amerika Serikat juga termasuk
negara yang menentukan domisili fiskal, tetapi tetap melihat status
kewarganegaraan. Setiap warga negara Amerika Serikat secara otomatis akan
menjadi penduduk (resident) untuk tujuan pemajakan di Amerika.
UU PPh tidak melihat status subjek
pajak Orang Pribadi berdasarkan kewarganegaraan, namun dilihat dari faktor :
1. tempat
tinggal
2. berapa lama
berada di Indonesia;
3. adanya niat
bertempat tinggal di Indonesia.
Wajib Pajak dalam negeri baik orang
pribadi maupun badan sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPh akan dikenakan
pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Dengan kata
lain, wajib pajak dikenakan pajak menggunakan prinsip world wide income.
Sedangkan wajib pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan
sekaligus merupakan wajib pajak, karena menerima dan/atau memperoleh
penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh
penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Ketentuan Pasal 26 UU PPh, mengatur
tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (baik orang pribadi maupun badan) selain
Bentuk Usaha Tetap.
Perbedaan antara wajib pajak dalam
negeri dengan wajib pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban
pajaknya antara lain :
- Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau yang diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan wajib pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber Indonesia.
- Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan netto dengan tarif umum, sedangkan wajib pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
- Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam satu tahun pajak, sedangkan wajib pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pjak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Asas
“Equity” atau keadilan dalam pemungutan pajak menghendaki agar terdapat
keseimbangan beban pajak yang harus dibayar oleh subyek pajak sesuai dengan
kemampuannya. Adanya dasar pemajakan yang beragam, system hukum yang beragam
memungkinkan timbulnya beban pajak ganda yang harus dibayar oleh subyek pajak.
Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan pajak ganda, perlu dikemukakan
pendapat para ahli tentang makna pajak berganda tersebut.
Ottmar Buhler (Soemitro; 1976) membedakan pajak ganda dalam arti luas dan dalam arti sempit; pajak ganda dalam arti luas apabila terhadap obyek pajak yang sama, pada saat yang sama, oleh beberapa negara dikenakan pajak yang sama atau sifatnya sama. Pajak ganda dalam arti sempit, apabila pengenaan pajak tersebut pada saat yang sama dikenakan terhadap subyek pajak yang sama.
Teichner (Soemitro; 1976) membedakan tiga pengertian, yaitu Pajak Ganda, Pungutan Ganda, dan “Doppelvorschreibung”. Yang dimaksud dengan pajak ganda, ialah: adanya pajak beberapa kali terhadap sumber yang sama; sedangkan yang disebut pungutan ganda, adalah adanya pemungutan pajak yang sama atas subyek atau obyek pajak yang sama oleh beberapa penguasa pungutan atau hanya oleh satu penguasa pungutan pajak. Adapun yang dimaksud dengan “Doppelvorschreibung”, adalah pemungutan pajak atas subyek atau obyek yang sama atas dasar yang sama oleh penguasa yang sama.Pemungutan pajak ganda dapat terjadi secara nasional, dalam arti system hukum, dan dapat pula terjadi secara internasional, yaitu karana adanya pertautan dua atau lebih system hukum yang dianut oleh negara-negara. Pajak ganda internasional terjadi karena umumnya negara-negara dalam system hukum nasionalnya menerapkan lebih dari satu asas-asas pemungutan pajak seperti dianutnya :
- Asas World Wide Income, pajak dikenakan dari seluruh penghasilan yang diperoleh dari dalam negeri maupun dari sumber di negara lain;
- Asas Sumber, siapapun yang memperoleh penghasilan di negaranya akan dikenakan pajak oleh negara sumber;
- Asas kewarganegaraan, yaitu pengenaan pajak terhadap warga negara suatu negara dimanapun mereka berada;
- Asas domisili, pengenaan pajak terhadap orang atau badan yang berdomisili di suatu negara.
- Asas Wilayah, yaitu negara akan mengenakan pajak terhadap subyek yang berada pada wilayah suatu negara :
Dilain pihak Amerika Serikat misalnya, selain menerapkan asas “World Wide Income”, asas sumber, asas domisili, menerapkan pula asas kewarganegaraan dalam undang-undang perpajakannya yang berbunyi
“US Income taxes are levied on the total income wherever arising, of USS citizens, US residents or domestic corporations, and on the US US source income of non resident aliens and foreign corporations” (Rolt; 1991)
Kemungkinan
terjadinya pajak ganda internasional sebagai berikut:
- Satu Wajib Pajak atas penghasilan yang diperolehnya dikenakan pajak oleh dua negara yang kedua-duanya menganut asas “World Wide Income”, dan asas domisili atau asas wilayah;
- Suatu negara mengenakan pajak terhadap satu Wajib Pajak berdasarkan asas “WorldWide Income”, sedangkan negara lain mengenakan pajak terhadap Wajib Pajak yang sama karena memperoleh penghasilan di negara tersebut, atau karena dia memiliki modal yang berada dinegara lain. Keadaan ini disebut adanya konflik dianutnya asas domisili dan asas sumber;
- Satu Wajib Pajak dari negara A memiliki Permanent Establisment (PE) di negara B, PE tersebut memperoleh penghasilan dari negara C; bila negara B menganut asas domisili dan negara C menganut asas sumber, maka akan terjadi konflik pengenaan pajak ganda antara negara B dan negara C.
Contoh
seorang Wajib Pajak Dikenakan pajak oleh dua negara:
A
Wajib Pajak negara X memperoleh penghasilan dalam tahun 2016 sebagai berikut:
Laba usaha Rp. 400.000.000
Penghasilan dari harta tak
Berwujud dinegara Y (Royalty) Rp. 50.000.000
+
Jumlah penghasilan Rp.
450.000.000
Besarnya
pajak terutang dinegara X (tarip 40 %) =
40
% x Rp. 450.000.000 = Rp. 180.000.000,-
Negara
Y, mengenakan pajak atas penghasilan Wajib Pajak A (royalty senilai Rp. 50.000.000) sebesar 20 % ; besarnya pajak yang terutang di negara Y
adalah:
20 % x Rp. 50.000.000 = Rp.
10.000.000,-
Dengan
demikian A memikul pajak ganda dari seluruh penghasilannya, beban pajak
seluruhnya sebesar Rp. 190.000.000,-, terdiri dari pajak yang dibayar di negara
X dan pajak atas royalty yang dibayar di negara; sedangkan atas penghasilan
berupa royalty, beban pajaknya adalah:
(40 % x Rp. 50 juta) + Rp. 10 juta =
Rp. 30.000.000,-
Penghindaran Pajak Ganda
Sejalan dengan asas “Equity”,
pengenaan pajak ganda bertentangan dengan asas tersebut, menimbulkan beban
pajak tinggi, dan mendorong subyek pajak menghindar dari kewajiban membayar
pajak, oleh karenanya dalam merancang undang-undang perpajakan (secara
nasional) maupun secara internasional dihindari kemungkinan terjadinya
pengenaan pajak ganda tersebut.
Pencegahan
pajak ganda (Soemitro; 1976) lazimnya dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Secara
sepihak (Unilateral),
b. Secara
bilateral atau multilateral, dengan
mengadakan perjanjian perpajakan dengan satu atau lebih negara asing.
a. Penghindaran
Pajak Ganda secara Unilateral
adalah
upaya penghindaran pemungutan pajak ganda yang dimuat dalam ketentuan hukum
nasional, seperti adanya pengecualian terhadap makanan dan minuman yang dijual
di hotel, rumah makan dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang
diatur dalam Pasal 4A UU Nomor 11 Tahun 1994 jo Pasal 3 angka 6 Peraturan
Pemerintah Nomor 50 tahun 1994. Maksud dari ketentuan tersebut, agar terhadap
obyek yang sama (makanan dan minuman) tidak dipungut pajak dua kali, satu oleh
Pemerintah Pusat yang berwenang memungut PPN, dan kedua oleh Pemerintah Daerah
yang berhak memungut Pajak Restoran atas penyerahan
makanan dan minuman tersebut.
Penghindaran pajak ganda secara unilateral umumnya mengikuti kebiasaan-kebiasaan dan prinsip atau asas yang sudah diterima oleh dunia internasional, seperti pembebasan sebagai subyek pajak perwakilan diplomatik negara asing beserta orang yang diperbantukan yang bekerja dan bertempat tinggal bersamanya, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 huruf d UU Nomor 10 Tahun 1994.
Wajib Pajak yang dikenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh dari sumber di negara lain, akan menanggung beban pajak ganda apabila dalam perundang-undangan pajak nasional di negaranya tidak terdapat ketentuan penghidaran pajak ganda. Ketentuan seperti yang terdapat dalam Pasal 24 UU Nomor 8 Tahun 1983 jo UU Nomor 10 Tahun 1994 Tentang Pajak Penghasilan yang memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk mengkreditkan pajak terutang yang dibayar di luar negeri terhadap pajak terutang yang harus dibayar di Indonesia (kredit pajak luar negeri) merupakan pula contoh upaya penghindaran pajak ganda secara unilateral.
Penghindaran pajak ganda secara unilateral umumnya mengikuti kebiasaan-kebiasaan dan prinsip atau asas yang sudah diterima oleh dunia internasional, seperti pembebasan sebagai subyek pajak perwakilan diplomatik negara asing beserta orang yang diperbantukan yang bekerja dan bertempat tinggal bersamanya, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 huruf d UU Nomor 10 Tahun 1994.
Wajib Pajak yang dikenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh dari sumber di negara lain, akan menanggung beban pajak ganda apabila dalam perundang-undangan pajak nasional di negaranya tidak terdapat ketentuan penghidaran pajak ganda. Ketentuan seperti yang terdapat dalam Pasal 24 UU Nomor 8 Tahun 1983 jo UU Nomor 10 Tahun 1994 Tentang Pajak Penghasilan yang memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk mengkreditkan pajak terutang yang dibayar di luar negeri terhadap pajak terutang yang harus dibayar di Indonesia (kredit pajak luar negeri) merupakan pula contoh upaya penghindaran pajak ganda secara unilateral.
b. Penghindaran
Pajak Ganda secara bilateral atau multilateral
Penghindaran
pajak ganda secara bilateral (perjanjian oleh dua negara) atau multilateral (perjanjian
oleh lebih dari dua negara) dilakukan melalui perjanjian perpajakan (traktat
atau treaty) Pada hakekatnya timbulnya perjanjian penghindaran pajak berganda
dikarenakan:
- Adanya kepentingan pemajakan yang sama terhadap obyek pajak;
- Setiap negara berkeinginan untuk menerapkan azas keadilan bagi para Wajib Pajaknya atau seperti dikatakan oleh Soemitro (1977): “mengurangi tekanan pajak secara preventif”;
- Menciptakan iklim investasi yang baik, mendorong terjadinya alih teknologi (know-how”) dari negara berkembang ke negara yang sedang berkembang, karena adanya kepastian hukum untuk tidak dibebani pajak ganda;
- Menghindarkan lolosnya suatu obyek pajak (loopholes) dari pengenaan pajak oleh negara yang berhak mengenakan pajak.
Dalam perjanjian penghindaran pajak (tax treaty) lazim
dirumuskan cara penghindaran
pajak ganda dengan membagi wewenang pengenaan pajak, membatasi wewenang
pengenaan pajak dan menyarankan penggunaan metoda penghindaran pajak ganda,
seperti: metode tax exemption, yaitu mengecualikan penghasilan yang diperoleh dari
pengenaan pajak; metoda tax credit, yaitu mengurangkan pajak terutang dalam negeri
dengan pajak yang dibayar di luar negeri, seperti ketentuan dalam pasal 24 UU Nomor
10 Tahun 1994, dan kadang-kadang dipergunakan juga metoda reduced tax, yaitu
mengurangkan tariff dalam undang-undang dengan tariff yang disetujui dalam
perjanjian (Soemitro, hal 132; 1977).
Dengan diadakannya perjanjian penghindaran pajak ganda secara bilateral maupun
multilateral, bagi negara-negara tersebut (“the contracting state”), berarti:
pajak ganda dengan membagi wewenang pengenaan pajak, membatasi wewenang
pengenaan pajak dan menyarankan penggunaan metoda penghindaran pajak ganda,
seperti: metode tax exemption, yaitu mengecualikan penghasilan yang diperoleh dari
pengenaan pajak; metoda tax credit, yaitu mengurangkan pajak terutang dalam negeri
dengan pajak yang dibayar di luar negeri, seperti ketentuan dalam pasal 24 UU Nomor
10 Tahun 1994, dan kadang-kadang dipergunakan juga metoda reduced tax, yaitu
mengurangkan tariff dalam undang-undang dengan tariff yang disetujui dalam
perjanjian (Soemitro, hal 132; 1977).
Dengan diadakannya perjanjian penghindaran pajak ganda secara bilateral maupun
multilateral, bagi negara-negara tersebut (“the contracting state”), berarti:
- Melepaskan sebagian haknya untuk memungut pajak (memberlakukan tax exemption),seperti pemajakan dari penghasilan yang diterima seorang artis, hak pemajakan berada pada negara tempat kegiatan dilakukan;
- Hak pemajakan atas suatu obyek dibagi diantara negara yang mengadakan perjanjian memberlakukan reduced tax), seperti di Indonesia, pengenaan tarif yang lebih rendah atas bunga tabungan yang diperoleh wajib pajak luar negeri dari 20 % menjadi 10 %;
- Setiap negara yang mengadakan perjanjian terikat dengan rumusan-rumusan yang telah disepakati bersama (ketentuan yang disepakati menjadi lex spesialis atau special law), yang dapat meniadakan ketentuan tertentu yang diatur dalam perundang undangan pajak nasional (lex generalis atau general law). Sebagai contoh, dampak perjanjian semacam itu bagi Indonesia dalam menentukan batas waktu (time test) kegiatan pemberian jasa yang dikenakan pajak penghasilan di Indonesia. Time test sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, dalam UU Nomor 10 Tahun 1994 ditetapkan harus melebihi jangka waktu 60 hari dalam jangka 12 bulan, sedangkan dalam perjanjian penghindaran pajak dengan negara Australia batas waktu tersebut ditetapkan: harus lebih dari 120 hari dalam jangka 12 bulan.
Metoda Penghindaran Pajak Ganda
Metoda yang lazim digunakan dalam undang-undang untuk menghindarkan pengenaan pajak berganda baik pajak ganda nasional maupun internasional, adalah:
a. Metode Exemption
Dalam metode exemption dibagi menjadi 2
bagian yaitu :
1. Object
Exemption
Berdasarkan metode object exemption
ini, masih dapat dikelompokkan kedalam 2 bagian;
1.1 Full
Exemption
Berdasarkan metode ini penghasilan yang
diperoleh Wajib Pajak yang berasal dari luar negeri diabaikan, sehingga
penghitungan kena pajak hanya didasarkan kepada penghasilan yang diperoleh di
dalam negeri saja.
1.2 Exemption
With Progression.
Berdasarkan metoda ini penghasilan yang
diperoleh Wajib Pajak yang berasal dari luar negeri diperhitungkan untuk
menentukan progresivitas tarif namun dalam menghitung pajak yang terutang,
penghasilan luar negeri yang diperoleh juga tidak digabungkan.
2. Tax
Exemption.
Berdasarkan metoda tax exemption ini,
masih dapat dikelompokkan kedalam 3 bagian;
2.1 At
The Top.
Berdasarkan metoda ini untuk menghitung
besarnya pajak terutang, penghasilan yang berasal dari luar negeri digabungkan
berdasarkan asas totalitas atau World Wide Income, sedangkan pajak terutang
diluar negeri dapat diperhitungkan atau merupakan kredit pajak, namun
disesuaikan dengan lapisan tariff tertinggi yang berlaku apabila suatu negara
menganut progresivitas tarif dalam menghitung besarnya pajak yang terutang.
2.2 At
The Bottom.
Jika berdasarkan metoda at the top
menggunakan lapisan tarif tertinggi yang berlaku, maka dalam metoda ini
merupakan kebalikan yaitu menggunakan lapisan tarif terendah yang diberlakukan
dalam menghitung besarnya pajak yang terutang.
2.3 Proporsional.
Metoda proporsional ini juga
menggunakan asas World Wide Income, sedangkan kredit pajak luar negeri dihitung
berdasarkan suatu rumusan yaitu penghasilan luar negeri dibagi dengan
penghasilan gabungan (keseluruhan atau total penghasilan luar negeri dan dalam
negeri) kemudian dikalikan dengan besarnya pajak terutang sebenarnya sesuai
dengan tarif yang berlaku.
b. Metoda Tax Credit.
Dalam metoda tax credit dibagi menjadi
3 bagian yaitu:
1. Full
Tax Credit
Dalam metoda ini penghasilan tetap
berdasarkan asas world wide income, sedangkan pajak yang telah dilunasi di luar
negeri seluruhnya merupakan kredit pajak.
2. Ordinary
Tax Credit
Dalam metoda ini credit pajak yang
telah dilunasi di luar negeri dapat diperhitungkan dalam menghitung besarnya
pajak terutang didalam negeri sesuai dengan asas world wide income namun
terbatas kepada perhitungan tarif pajak yang berlaku di dalam negeri atas penghasilan
luar negeri.
3. Tax
Sparing.
Metoda ini juga sering disebut dengan
istilah Fictitious, karena suatu keuntungan yang diperoleh dimana Wajib Pajak
dapat mengkreditkan pajak yang terutang di luar negeri yang sebenarnya belum
pernah dilunasi di luar negeri.
c. Reduced Rate
Metoda ini juga disebut dengan
privileged tax rate, yang merupakan suatu kesepakatan negara yang
berkepentingan untuk menentukan besarnya persentase yang dapat direkduksikan.
Metode reduced rate biasanya digunakan oleh Negara Belanda, Jerman, Itali,
Portugal dan Norwegia.
d.
Tax
Deduction
Dalam metoda tax deduction, walaupun
asas world wide income tetap digunakan, namun pajak yang telah dilunasi di luar
negeri tidak dikreditkan melainkan dibebankan sebagai biaya dalam menghitung
besarnya pajak terutang di dalam negeri.
Berikut ini diberikan contoh atas semua
metoda penghindaran pajak berganda yang diaplikasikan kedalam penghindaran
pajak berganda Internasional.
Wajib Pajak “A” (Perorangan)
dalam tahun 2016 memperoleh penghasilan neto dari luar negeri (setelah kurs
yang berlaku) sebesar Rp. 100 Juta dan penghasilan neto dalam negeri sebesar
Rp. 200 juta, pajak yang telah dilunasi di luar negeri sebesar Rp. 40 juta,
(40%) dengan penghasilan demikian maka penghasilan total atau world wide income
adalah Rp. 300 juta.
a.
Metoda
Full Exemption :
Pajak
penghasilan terutang
5 % x Rp. 50.000.000
= Rp. 2.500.000
15
% x Rp. 150.000.000 = Rp. 22.500.000
Rp. 25.000.000
b.
Exemption
with Progression :
5 % x Rp.
50.000.000 = Rp.
2.500.000
15
% x Rp. 200.000.000 = Rp. 30.000.000
25
% x Rp. 50.000.000 = Rp. 12.500.000 +
Rp.
45.000.000
Progressivitas tarif = 45.000.000
x 100% =
15 %
300.000.000
Pajak penghasilan terutang adalah :
15 % x Rp. 200.000.000 = Rp. 30.00.000
c.
Full
Tax Credit :
Pajak penghasilan terutang atas
world wide income =
Rp. 45.000.000
Kredit pajak luar negeri = Rp. 40.000.000 -
Pajak yang harus dilunasi = Rp. 5.000.000
d. Ordinary
Tax Credit :
Pajak penghasilan terutang
atas world wide income Rp.
45.000.000
Kredit pajak luar negeri :
5 % x Rp. 50 juta = Rp. 2.500.000
15 % x Rp. 50 juta = Rp.
7.500.000
Maksimum kredit yang
Dapat diperhitungkan Rp. 10.000.000
Pajak
yang harus dilunasi Rp. 35.000.000
e. Tax
Sparing
WP “A” (Perorangan) yang berdomisili di
negara “X” memperoleh royalty dari negara “Y” sebesar 100 juta, tarif normal
yang berlaku di negara “X” adalah 20 % dan negara “Y” 10 % sedangkan dalam tax
treaty antara kedua negara tarif pajak atas royalty adalah 5 %.
Royalty
yang akan ditransfer = 100.000.000
Pajak
terutang di negara “Y” (5 %) = 5.000.000
Royalty
yang diterima di negara “X” = 95.000.000
Pajak
terutang di negara “X”
20
% x 100.000.000 =
20.000.000
Kredit
pajak luar negeri =
10.000.000
Pajak
yang dipungut di negara “X” 10.000.000
royalty yang diterima WP.A 85.000.000
royalty yang diterima WP.A 85.000.000
f. Reduced
Rate
WP
“A” yang berdomisili di “X” mempunyai penghasilan neto dalam negeri sebesar 15
juta dan mempunyai penghasilan neto dari negara “Y” sebesar 30 juta. Tarif
pajak normal yang berlaku di negara “X” 40 % dan negara “Y” 30 %, kedua negara
ini bersepakat membuat tax treaty dengan reduced 75 %
Maka
atas penghasilan (world wide income) sebesar 45 juta, terutang pajak :
75 % x 40 % = 30 %
40 % - 30 % = 10 %
10 % x Rp. 30.000.000 = Rp. 3.000.000
Pajak
terutang di dalam negeri :
Atas
penghasilan dalam negeri : 40 % x 15.000.000 = 6.000.000
Atas
penghasilan luar negeri : 10 % x
30.000.000 = 3.000.000
Atas
penghasilan world wide income = 9.000.000
g. Tax
Deduciton
Jika pada kasus metoda reduced rate
tidak digunakan dan kedua negara domisili menggunakan metoda tax deduction maka
pajak terutang di negara domisili :
Penghasilan
dalam negeri 15.000.000
Penghasilan
luar negeri 30.000.000
Jumlah
seluruh penghasilan
(World wide income) 45.000.000
Pajak
terutang di luar negeri (30 % x 30 jt) 9.000.000 -
Dasar
pengenaan pajak 36.000.000
Pajak
terutang di dalam negeri :
40 % x 36.000.000 =
14.400.000.
Perkembangan Perjanjian Penghindaran Pajak Ganda Internasional
Banyak negara sudah mengadakan perjanjian penghindaran pajak ganda bilateral, dan masing-masing perjanjian berdiri sendiri. Di Eropah sejak adanya “League of Nations” telah mencoba menyusun model perjanjian penghindaran pajak ganda (draft convention). Model perjanjian itu dimaksudkan untuk memecahkan kesulitan atau masalah teknis yang timbul dalam mengadakan perjanjian. Keuntungan adanya model perjanjian, yaitu memberikan kesamaan dalam pengaturan dan pelaksanaan, serta dapat dilakukan penyesuaian yang perlu dikarenakan perbedaan kondisi negara-negara yang mengadakan perjanjian Model perjanjian pajak bilateral yang tertua yang dkenal dengan Model 1928 dibuat oleh “Council of the League of Nations”.
Model tersebut merupakan gabungan dari model-model perjanjian penghindaran pajak lain yang menitik beratkan pada penghindaran pajak langsung, dan dalam model tersebut dimuat unsur bantuan administrasi dan penagihan pajak. Model tahun 1928 memberikan hak yang cukup besar kepada negara sumber untuk memungut pajak.
Model perjanjian penghindaran pajak berikutnya dikenal sebagai Model penghindaran pajak ganda Tahun 1935, yang dihasilkan dalam pertemuan Fiscal Committee dari “The League of Nations” yang merupakan revisi dari model perjanjian tahun 1928. Dalam model tahun 1935 ditambahkan rumusan tentang alokasi pendapatan usaha perusahaan yang mempunyai kegiatan diberbagai negara, dan memberikan wewenang negara sumber untuk mengenakan pajak terhadap “Permanent Establishment”.
Perkembangan Perjanjian Penghindaran Pajak Ganda Internasional
Banyak negara sudah mengadakan perjanjian penghindaran pajak ganda bilateral, dan masing-masing perjanjian berdiri sendiri. Di Eropah sejak adanya “League of Nations” telah mencoba menyusun model perjanjian penghindaran pajak ganda (draft convention). Model perjanjian itu dimaksudkan untuk memecahkan kesulitan atau masalah teknis yang timbul dalam mengadakan perjanjian. Keuntungan adanya model perjanjian, yaitu memberikan kesamaan dalam pengaturan dan pelaksanaan, serta dapat dilakukan penyesuaian yang perlu dikarenakan perbedaan kondisi negara-negara yang mengadakan perjanjian Model perjanjian pajak bilateral yang tertua yang dkenal dengan Model 1928 dibuat oleh “Council of the League of Nations”.
Model tersebut merupakan gabungan dari model-model perjanjian penghindaran pajak lain yang menitik beratkan pada penghindaran pajak langsung, dan dalam model tersebut dimuat unsur bantuan administrasi dan penagihan pajak. Model tahun 1928 memberikan hak yang cukup besar kepada negara sumber untuk memungut pajak.
Model perjanjian penghindaran pajak berikutnya dikenal sebagai Model penghindaran pajak ganda Tahun 1935, yang dihasilkan dalam pertemuan Fiscal Committee dari “The League of Nations” yang merupakan revisi dari model perjanjian tahun 1928. Dalam model tahun 1935 ditambahkan rumusan tentang alokasi pendapatan usaha perusahaan yang mempunyai kegiatan diberbagai negara, dan memberikan wewenang negara sumber untuk mengenakan pajak terhadap “Permanent Establishment”.
Berikutnya
adalah Model Mexico Tahun 1943, pada tahun 1943 Fiscal
Committee dari League of Nation mengusulkan revisi terhadap model tahun 1928
yang disebabkan timbulnya kesulitan tekhnis dalam aplikasi model perjanjian
penghindaran pajak ganda tersebut karena ada kecenderungan baru dalam
perniagaan Internasional dan tingkat investasi Internasional, sehingga
diperlukan rumusan baru dari perjanjian penghindaran pajak ganda.
Model
Mexico mencakup rumusan model tahun 1928 dan model tahun 1935 ; dalam model
tersebut mulai diperhatikan kepentingan dari negara yang mengekspor modal dan
kepentingan negara yang mengimpor modal, serta ditekankan pentingnya negara
sumber dan negara tempat kedudukan wajib pajak untuk memungut pajak atas bunga
dan dividen.
Dalam
pertemuan Fiscal Committee yang ke 20 pada tahun 1946 telah dilakukan
penyempurnaan perumusan model perjanjian penghindaran pajak ganda Mexico yang
dikenal sebagai model perjanjian
penghindaran pajak ganda London Tahun 1946, walaupun pada dasarnya sama
dengan rumusan model Mexico. Model Mexico dan model London ini dalam
perkembangannya menjadi model perjanjian penghindaran pajak ganda model OECD
(Organization for Economic Cooperation and Development) yang hingga kini banyak
dipakai oleh negara-negara dalam mengadakan perjanjian bilateral penghindaran
pajak ganda.
Model
OECD pertama kali diselesaikan oleh Fiscal Committee OECD pada tahun 1963 yang
terdiri dari 30 pasal berikut penjelasan-penjelasannya, serta dianjurkan pula
agar negara anggota OECD menggunakan model perjanjian penghindaran pajak ganda
tersebut. Dalam model OECD dimungkinkan adanya penyesuaian ketentuan-ketentuan
dan pasal-pasal dengan kebutuhan negara-negara yang sedang berkembang, serta
dalam model tersebut memberikan kemungkinan pencegahan pajak ganda dalam bidang
pajak tak langsung (Soemitro; 1977).
Model perjanjian penghindaran pajak ganda OECD Tahun 1963 telah mengalami penyempurnaan pada tahun 1968 dan berakhir pada tahun 1977, mempunyai dua aspek penting dalam mengadakan perjanjian penghindaran pajak ganda, yaitu:
Model perjanjian penghindaran pajak ganda OECD Tahun 1963 telah mengalami penyempurnaan pada tahun 1968 dan berakhir pada tahun 1977, mempunyai dua aspek penting dalam mengadakan perjanjian penghindaran pajak ganda, yaitu:
- Negara domisili akan menerapkan metoda Tax Credit atau Tax Exemption dalam mencegah pengenaan pajak ganda;
- Negara sumber akan mengurangi wewenang pemajakan terhadap penghasilan yang diperoleh dari sumber disuatu negara dan akan mengurangi tarif pajak yang dikenakan dalam hal penghasilan yang berasal dari negara sumber tetap dikenakan pajak. (Internasional Tax Seminar; 1993)
Pengertian
dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda ( P3B )
Pengertian Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda ( P3B ) adalah perjanjian pajak antara dua negara secara
bilateral. Persetujuan penghindaran pajak ini mengatur mengenai pembagian hak
pemajakan yang diterima atau diperoleh penduduk dari salah satu atau kedua
negara pada pihak persetujuan.
Tujuan diadakannya Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda ( P3B ) ini adalah untuk
menghindari adanya pemajakan berganda atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh subyek yang sama.
P3B membatasi hak pemajakan suatu
negara untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan tertentu. Ketika
masing-masing ketentuan domestik suatu negara sama-sama mengenakan pajak atas
penghasilan yang sama, maka berdasarkan P3B , hak masing-masing negara untuk
mengenakan pajak atas suatu penghasilan tersebut dapat
dihilangkan atau dibatasi. Dengan kata lain, ketika suatu negara mengadakan
P3B, maka negara tersebut setuju untuk dibatasi haknya dalam mengenakan pajak
berdasarkan pembatasan yang diatur dalam P3B.
Kedudukan P3B di Indonesia terhadap
UU Pajak Penghasilan diperlakukan sebagai lex specialis, sehingga
apabila ada pertentangan antara UU Domestik Indonesia dengan P3B, maka
atuaran-aturan yang ada dalam P3B akan didahulukan.
P3B tidak memberikan hak pemajakan
baru kepada negara yang mengadakan P3B.Pengenaan pajak suatu negara atas suatu
penghasilan, didasarkan atas ketentuan domestik negara tersebut. Dengan
demikian, apabila dalam P3B suatu negara diberi hak pemajakan atas suatu
penghasilan tertentu, akan tetapi negara tersebut berdasarkan hukum domestik
tidak mengenakan pajak atas penghasilan tertentu tersebut, maka negara tersebut
tidak dapat mengenakan pajak atas penghasilan tertentu tersebut , walaupun P3B
memberikan hak pemajakan kepada negara tersebut.
Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda
oleh Indonesia
Perjanjian-perjanjian penghindaran pajak ganda yang dibuat
oleh Indonesia, umumnya mengikuti Model OECD. Hingga kini Indonesia telah
mengadakan kurang lebih 68
perjanjian semacam itu yang sudah berlaku efektif, antara lain: dengan negara
Jepang, Australia, Amerika Serikat, Selandia Baru, Kerajaan Belanda, Singapore,
Tunisia, Hungaria, dan lain-lain.
Struktur model perjanjian OECD adalah sebagai berikut:
Model perjanjian berisi 7 (tujuh) Bab yang didahului dengan kalimat pembukaan mengenai maksud dan tujuan perjanjian tersebut, seperti contoh sebagai berikut
Struktur model perjanjian OECD adalah sebagai berikut:
Model perjanjian berisi 7 (tujuh) Bab yang didahului dengan kalimat pembukaan mengenai maksud dan tujuan perjanjian tersebut, seperti contoh sebagai berikut
“Agreement between country A and Country B for the avoidance of double taxation and the prevetion of fical evasion with respect to taxes on income and capital”.
Pada Bab I model perjanjian OECD berisikan rumusan ruang
lingkup berlakunya perjanjian; sebagai contoh dalam perjanjian penghindaran
pajak ganda Indonesia dengan Amerika Serikat pada Bab I terdapat rumusan
sebagai berikut:
Pasal
1: “This convention is applicable to person who are residents of one both
contracting state”.
Pasal
2: (1) The existing taxes which are subject of this convention are:
(a).
In the case of Indonesia, the income tax (pajak penghasilan 1984), and to the
extent providen in such income tax, the Company tax (pajak perseroan 1925), and
the tax on interest, dividends, and royalties (pajak atas bunga, dividen, dan
royalty 1970);
(b).
In the case of the United States, the income tax imposed by the Internal
Revenue Code (but excluding the accumulated earnings tax, the personal holding
company tax, and social security tax)
Bab II
terdiri dari tiga pasal yang memuat batasan pengertian (definisi). Dalam pasal
3 umumnya diuraikan rumusan umum
(defines) seperti, definisi negara yang mengadakan perjanjian (“contracting
state”), definisi subyek (“person”), definisi badan, perkumpulan (“company,
enterprise”), definisi kebangsaan (“citizen atau nationality”), dan definisi
pejabat yang berwenang (“competent authority”).
Pada pasal 4 (Bab 2) merumuskan definisi penduduk
(“resident”) dan criteria penentuan penduduk suatu negara bagi orang yang
bertempat tinggal di kedua negara yang mengadakan perjanjian.
Rumusan Tempat Kedudukan
(“Residence”)
Penentuan tempat kedudukan
dalam hukum pajak tidak berdasarkan pertimbangan formal, tetapi ditentukan
menurut keadaan yang sebenarnya; sebagaimana tercantum dalam UU Nomor PPh, bahwa domisili atau tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan ditentukan menurut keadaan sebenarnya.
Rumusan tempat kedudukan tersebut
diperlukan untuk menentukan apakah seorang atau badan menjadi wajib pajak dalam
negeri atau wajib pajak luar negeri dari negara yang mengadakan perjanjian
(“contracting states”). Oleh karenanya kemungkinan terdapat perbedaan rumusan
dalam setiap perjanjian penghindaran pajak ganda, misalnya dalam perjanjian
penghindaran pajak ganda yang dibuat oleh negara Indonesia dengan Amerika
Serikat, atau antara negara Indonesia dengan negara Singapura.
Dalam mengadakan perjanjian dengan
suatu negara selalu diperjanjikan unsure materi diatas, sehingga antara
perjanjian yang satu dengan negara lainnya dapat terjadi perbedaan. Oleh
karenanya untuk menerapkan ketentuan-ketentuan perpajakan yang diatur dalam
perjanjian harus mempelajari perjanjian penghindaran pajak yang berkenaan
dengan masing-masing negara.
Dalam hal orang atau badan berdasarkan
undang-undang perpajakan negara yang mengadakan perjanjian bertempat kedudukan
pada kedua negara tersebut, tempat kedudukan ditentukan berdasarkan kriteria
sebagai berikut:
a. Tempat
tinggal tetap (domisili atau permanent home)
Sebagai
contoh dalam perjanjian pajak ganda dengan Australia, dirumuskan bahwa orang
pribadi bertempat kedudukan pada suatu negara yang mengadakan perjanjian
apabila orang tersebut berdasarkan ketentuan perpajakan negara yang mengadakan
perjanjian dinyatakan bertempat tinggal di negara tersebut (“if the person is a
residence of that contracting state under the law of that state relating to its
tax”).
b. Apabila
berdasarkan kriteria tempat tinggal tetap ternyata orang pribadi tersebut
bertempat kedudukan di kedua negara yang mengadakan perjanjian, tempat
kedudukan ditentukan oleh:
1). tempat yang lebih sering ditempati (“habitual abode”)
2). apabila berdasarkan kriteria tersebut orang pribadi ternyata bertempat kedudukan di kedua negara yang mengadakan perjanjian, maka tempat kedudukannya ditentukan oleh tempat kegiatan ekonomi yang lebih sering dilakukan.
3). tempat kedudukan badan umumnya ditentukan oleh tempat manajemen berada (“place of effective management is situated”) atau dalam perjanjian pajak dengan Amerika Serikat disebutkan (“which it is organized or incorporated”).
4). dalam perjanjian dengan Amerika terdapat clausula bahwa, bila kriteria di atas tidak dapat digunakan, maka diperlukan penjelasan pejabat berwenang dari kedua negara.
1). tempat yang lebih sering ditempati (“habitual abode”)
2). apabila berdasarkan kriteria tersebut orang pribadi ternyata bertempat kedudukan di kedua negara yang mengadakan perjanjian, maka tempat kedudukannya ditentukan oleh tempat kegiatan ekonomi yang lebih sering dilakukan.
3). tempat kedudukan badan umumnya ditentukan oleh tempat manajemen berada (“place of effective management is situated”) atau dalam perjanjian pajak dengan Amerika Serikat disebutkan (“which it is organized or incorporated”).
4). dalam perjanjian dengan Amerika terdapat clausula bahwa, bila kriteria di atas tidak dapat digunakan, maka diperlukan penjelasan pejabat berwenang dari kedua negara.
Rumusan Dari Bentuk Usaha
Tetap (“permanent establishment”)
Dalam pasal 5 (BAB II) perjanjian penghindaran pajak ganda dirumuskan pengertian tentang Permanent Establishment (PE), yang dalam undang-undang perpajakan Indonesia disebut Bentuk Usaha Tetap (BUT) dengan contoh-contohnya. Permanent Establishment atau Bentuk Usaha Tetap dalam perjanjian dirumuskan sebagai suatu tempat permanen (“fixed place”) untuk menjalankan seluruh atau sebagian kegiatan usahanya meliputi:
Dalam pasal 5 (BAB II) perjanjian penghindaran pajak ganda dirumuskan pengertian tentang Permanent Establishment (PE), yang dalam undang-undang perpajakan Indonesia disebut Bentuk Usaha Tetap (BUT) dengan contoh-contohnya. Permanent Establishment atau Bentuk Usaha Tetap dalam perjanjian dirumuskan sebagai suatu tempat permanen (“fixed place”) untuk menjalankan seluruh atau sebagian kegiatan usahanya meliputi:
a. Tempat
kedudukan manajemen
b. Cabang
perusahaan, pabrik, bengkel, gudang, pertanian;
c. Pertambangan
dan tempat explorasi pertambangan, tempat kapal untuk eksplorasi dan
penambangan sumber daya alam.
Rumusan pengertian dan batas waktu (time rest) untuk menetapkan orang atau
badan sebagai PE atau BUT dapat berbeda dengan rumusan dalam yang terdapat
dalam UU PPh. Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksudkan dengan BUT adalah bentuk usaha yang digunakan oleh pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia. Rumusan dan batas waktu (time test) tersebut dapat berbeda dalam setiap perjanjian penghindaran pajak ganda yang diadakan.
Sebagai contoh rumusan dan batas waktu dalam perjanjian penghindaran pajak antara Indonesia dengan Australia, yang digolongkan sebagai PE atau BUT adalah antara lain:
Rumusan pengertian dan batas waktu (time rest) untuk menetapkan orang atau
badan sebagai PE atau BUT dapat berbeda dengan rumusan dalam yang terdapat
dalam UU PPh. Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksudkan dengan BUT adalah bentuk usaha yang digunakan oleh pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia. Rumusan dan batas waktu (time test) tersebut dapat berbeda dalam setiap perjanjian penghindaran pajak ganda yang diadakan.
Sebagai contoh rumusan dan batas waktu dalam perjanjian penghindaran pajak antara Indonesia dengan Australia, yang digolongkan sebagai PE atau BUT adalah antara lain:
a).
instalasi, tempat pengeboran (“drilling rig”) atau kapal yang dipakai untuk
tujuan eksploitasi sumber daya alam;
b).
suatu lokasi bangunan atau konstruksi bangunan untuk proyek serta kegiatan
pengawasan;
c).
kegiatan pemberian jasa yang dilakukan di negara lain oleh orang pribadi yang
tidak bebas;
yang
harus berlangsung lebih dari 120 hari dalam jangka waktu 12 bulan; jadi berbeda
dengan batas waktu yang ditetapkan dalam UU Nomor 10 Tahun 1994, yaitu untuk
kegiatan pemberian jasa harus melebihi jangka waktu 60 hari dalam jangka 12
bulan.
Time test tersebut ada yang 3 bulan,
seperti halnya dalam perjanjian penghindaran pajak ganda dengan Kerajaan
Belanda dan dalam perjanjian pajak ganda dengan India Time Test nya sama dengan
time test dalam undang-undang Indonesia yaitu selama 183 hari dalam jangka 12
bulan Time Test akan berbeda untuk bangunan, instalasi, proyek, pekerjaan
supervisi atau pemberian jasa.
Uraian
pada Bab 3 dan Bab 4
Bab 3 dan Bab 4 memuat rumusan lingkup
dan wewenang pemajakan atas penghasilan dan atas penghasilan lain, pada umumnya
dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Penghasilan
yang sepenuhnya akan dikenakan pajak di negara sumber adalah :
- penghasilan
yang diperoleh dari sektor pertanian dan perhutanan;
- penghasilan
yang diperoleh Permanent Establishment (termasuk pula keuntungan dari pengalihan
harta gerak yang dimiliki PE);
- penghasilan
yang diperoleh para artis dan atlit;
- penghasilan
dari kegiatan pemberian jasa;
- penghasilan
direktur;
- gaji
para pegawai sektor swasta, penghasilan awak kapal laut dan perusahaan
penerbangan dalam hal tempat kegiatan manajemen berada di negara tersebut dan
pensiun dari pegawai pemerintah.
Sebagai
Ilustrasi:
Hak pengenaan pajak atas penghasilan
yang berasal dari harta tak gerak umumnya dilakukan oleh negara dimana barang
tak gerak tersebut berada. Misalnya, yang tercantum pada Pasal 6 Perjanjian Penghindaran
Pajak ganda Indonesia dan Australia yang berbunyi:
“income from real property may be taxed in the contracting state in which the real property is situated.”
Demikian pula dengan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dan Amerika Serikat :
“Income from immovable property, including income in respect of the operation of mines, oil or gas wells, quarries, or other natural resources and gains derive from the sales, exchange, or other disposition of such property or the right giving rise tu such income, may be taxes by the contracting state in which such immovable property, mines, oil or gas wells, quarries, or other natural resources are situated.”
Pengertian penghasilan dari harta tak
gerak tersebut, pada umumnya meliputi pula penghasilan yang berasal dari
kegiatan langsung atau dari kegiatan tak langsung atas harta tersebut (melalui
pihak lain). Namun perlu diperhatikan bahwa dalam pengertian harta tak gerak
tidak termasuk kapal laut dan kapal
terbang.
Penghasilan Yang Berasal
Dari Laba Usaha
Adapun pengenaan pajak
penghasilan atas laba usaha (“business profits”) yang diperoleh perusahaan
suatu negara yang mengadakan perjanjian, menjadi hak negara tempat kedudukan
perusahaan, kecuali laba usaha yang diperoleh melalui kegiatan usaha permanent
establishment (BUT) yang berada di negara lain, seperti tercantum dalam Pasal 7
perjanjian perpajakan Indonesia dengan Australia:
“The
profit of an enterprise of one of the contracting state shall be taxable only in that state unless the enterprise carries
on business in the other contracting state through a permanent establishment
situated in that other state.”
Negara lain berhak untuk mengenakan
pajak yang berasal dari laba yang diperoleh dari kegiatan usaha BUT yang berada
di negaranya, dan terbatas pada:
- laba
BUT;
- atas
penjualan barang yang sama atau serupa dengan barang yang dijual oleh BUT;
- dari
kegiatan lain yang dilakukan oleh perusahaan induk yang sama dengan kegiatan
yang dilakukan oleh BUT.
Penghasilan Dari Kapal Laut
Dan Kapal Udara
Penghasilan dari
pengoperasian kapal laut (“ships”) dan kapal udara (“aircraft”) yang berasal
atau dipunyai oleh penduduk salah satu negara yang mengadakan perjanjian
(“profit from the operation of ships of aircraft derived by a resident of one
of the contracting state shall be taxable only in that state”) menjadi hak
negara tempat kedudukan Wajib Pajak.
Negara lain berhak untuk mengenakan
pajak penghasilan dari penghasilan yang diperoleh semata-mata dari
pengoperasian kapal tersebut dari tempat satu ke tempat lain (pelabuhan) yang
berada di negara lain.
Perjanjian dengan negara tertentu
menetapkan negara sumber berhak untuk memungut 50 % dari laba yang diperoleh
dari negaranya, seperti halnya dalam perjanjian penghindaran pajak ganda dengan
negara Austria dan Hungaria.
Dalam perjanjian dengan negara
Pakistan, hak untuk mengenakan pajak penghasilan diberikan kepada negara
sumber, sedangkan dalam perjanjian dengan Malaysia dan Belgia hak mengenakan
pajak diberikan kepada negara domisili manajemennya.
Penghasilan Yang Berkaitan
Dengan Pekerjaan
Yang dimaksud dengan
penghasilan berkaitan dengan pekerjaan, adalah penghasilan berupa gaji, upah
dan imbalan lain yang diperoleh orang pribadi penduduk suatu negara yang
dilakukan dalam hubungan pekerjaan. Hak pemajakan pada umumnya berada pada
negara asal subyek (negara domisili subyek). Time test diperlukan untuk
menentukan tempat kedudukan subyek pajak tersebut.
Dalam perjanjian dengan Australia ditetapkan bahwa negara sumber berhak mengenakan pajak bila:
a) si penerima penghasilan menjalankan pekerjaan dinegara sumber dan berada di negara
tersebut melebihi 120 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
b) imbalan diberikan oleh pemberi kerja (employer) yang tidak berkedudukan di negara
pekerjaan dilakukan.
Time test tersebut beraneka ragam, sebagai contoh dalam perjanjian dengan Kerajaan Belanda disebutkan apabila melewati 90 hari dalam 12 bulan, dan dalam perjanjian dengan negara Canada, Belgia, Finlandia, Jepang batas waktu yang ditetapkan adalah apabila melewati 183 hari dalam jangka 12 bulan (sama dengan batas waktu penentuan subyek pajak dalam negeri).
Dalam perjanjian penghindaran pajak ganda yang dibuat oleh Indonesia ditetapkan bahwa atas penghasilan yang diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dan atas pembayaran imbalan berkenaan dengan pemberian jasa atau pekerjaan professional, akan dikenakan pajak penghasilan di Indonesia dengan syarat sebagai berikut:
a. pegawai atau yang memberikan jasa professional merupakan subyek pajak luar negeri;
b. melakukan pekerjaan atau pemberian jasa di Indonesia lebih dari 120 hari dalam jangka
waktu 12 bulan.
Dalam perjanjian dengan Australia ditetapkan bahwa negara sumber berhak mengenakan pajak bila:
a) si penerima penghasilan menjalankan pekerjaan dinegara sumber dan berada di negara
tersebut melebihi 120 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
b) imbalan diberikan oleh pemberi kerja (employer) yang tidak berkedudukan di negara
pekerjaan dilakukan.
Time test tersebut beraneka ragam, sebagai contoh dalam perjanjian dengan Kerajaan Belanda disebutkan apabila melewati 90 hari dalam 12 bulan, dan dalam perjanjian dengan negara Canada, Belgia, Finlandia, Jepang batas waktu yang ditetapkan adalah apabila melewati 183 hari dalam jangka 12 bulan (sama dengan batas waktu penentuan subyek pajak dalam negeri).
Dalam perjanjian penghindaran pajak ganda yang dibuat oleh Indonesia ditetapkan bahwa atas penghasilan yang diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dan atas pembayaran imbalan berkenaan dengan pemberian jasa atau pekerjaan professional, akan dikenakan pajak penghasilan di Indonesia dengan syarat sebagai berikut:
a. pegawai atau yang memberikan jasa professional merupakan subyek pajak luar negeri;
b. melakukan pekerjaan atau pemberian jasa di Indonesia lebih dari 120 hari dalam jangka
waktu 12 bulan.
b.
Penghasilan yang tidak sepenuhnya dikenakan pajak dinegara sumber:
penghasilan berupa deviden, bunga
(umumnya oleh negara sumber dikenakan pajak dengan tarif yang lebih rendah dari
pada tarif yang berlaku).
Contoh:
Penghasilan
Berupa Dividen, Bunga Dan Royalty
Atas penghasilan berupa
dividen, bunga dan royalty yang diperoleh dari sumber di negara lain, akan
dikenakan pajak oleh negara asal penghasilan tersebut, atau dikenakan oleh
kedua negara. Misalnya dalam perjanjian penghindaran pajak ganda Indonesia
dengan Australia hak pengenaan pajak diberikan kepada negara sumber penghasilan
:
“Dividens
paid by a company which is a resident of one of the contracting state under the
law of that state realting to its tax, being dividends to which a resident of
the other contracting state is beneficially entitled, may be taxed in that
other state.”
Sedangkan dalam Pasal 11 perjanjian
penghindaran pajak ganda Indonesia dengan Amerika Serikat, disebutkan bahwa hak
pemajakan atas dividen menjadi hak kedua negara. Pasal 11 perjanjian tersebut
berbunyi :
“Dividends
derives from sources within one of the contracting state by a resident of the
other contracting state may be taxed by both contracting state.”
Sebagai contoh, pembayaran dividen
oleh PT A yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan di Hongkong yang
merupakan “permanent establishment” dari perusahaan yang berdomisili di Jepang,
maka penerima yang berhak adalah perusahaan di Jepang. Jadi yang dipergunakan
adalah perjanjian dengan negara Jepang.
Demikian pula halnya dengan
penghasilan yang diperoleh dari bunga (interest) dan royalty. Akan dikenakan
pajak oleh negara yang mengadakan perjanjian Dalam perjanjian dengan Amerika
Serikat mengenai pengenaan pajak atas bunga terdapat klausul bahwa penghasilan
dari bunga yang diperoleh dari salah satu negara yang mengadakan perjanjian
bukan obyek pajak dinegara lainnya, maka penghasilan dari bunga itu harus
dikecualikan dari pengenaan pajak oleh negara sumber penghasilan tersebut.
Klausula tersebut terdapat dalam pasal 12 ayat (3) perjanjian penghindaran
pajak ganda Indonesia dan Amerika Serikat yang berbunya :
“Notwithstanding
paragraph (1) and (2), interst derived from sources within one of the
Contracting States by the other Contracting State or any agency or
instrumentality of that other State not subject to tax by that State on its
income shall be exempt from tax in the first mentioned State.”
Tarif Yang Berlaku
Pengenaan tarif lebih
rendah terhadap penghasilan berupa bunga, dividen, royalty adalah seperti
contoh berikut; berdasarkan Pasal 26 UU Nomor 36 Tahun 2008,
atas penghasilan berupa dividen, bunga, dan royalty yang diperoleh Wajib Pajak
luar negeri dikenakan pajak penghasilan sebesar 20 % dari jumlah bruto
penghasilan. Bila si penerima penghasilan tersebut adalah subyek pajak luar
negeri, misalnya subyek pajak Australia, maka berdasarkan perjanjian
penghindaran pajak ganda dengan negara Australia, tarif pajak yang dipungut
oleh Indonesia adalah
- jumlah pembayaran dividen maksimum 15
- untuk pembayaran bunga maksimum 10 %
- untuk pembayaran royalty maksimum 10 %, untuk imbalan atas jasa teknik, informasi di bidang industry, komersial atau keilmuan, sedangkan pembayaran lain maksimum 15 %.
Jadi
berkenaan dengan pengenaan pajak penghasilan atas sumber tersebut Indonesia
melepaskan sebahagian haknya dalam pengenaan pajaknya sebesar 5 % - 10 %
Dalam menerapkan perjanjian penghindaran
pajak berganda berkenaan dengan pembayaran bunga, dividen, atau pembayaran
royalty harus diketahui dengan benar tempat kedudukan yang berhak menerima
pembayaran tersebut (“beneficiary entited”).
Dengan berlakunya Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda, maka ketentuan perundang-undangan Pajak Penghasilan berkenaan
dengan pengenaan pajak terhadap Wajib Pajak luar negeri harus mengikuti
ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut.
Penghasilan Yang Berasal Dari “Capital Gain”, Pemberian
Jasa
Secara
umum, atas penghasilan yang diperoleh subyek pajak dari laba penghalian harta
atau “gain”, dari harta tak gerak yang berada di negara lain, hak pengenaan
pajak dilakukan dinegara lain.
Penghasilan yang diperoleh dari kegiatan
pemberian jasa professional (“Independent Personal Service”) akan dikenakan
pajak oleh negara domisili subyek pajak, kecuali :
a) bila
kegiatan pemberian jasa dilakukan melalui BUT (PE), dan pengenaan pajak
terbatas pada penghasilan yang diperoleh dari negara sumber.
b) Bilamana
subyek pajak orang pribadi berada dinegara sumber lebih dari 120 hari dalam
jangka waktu 12 bulan.
Yang
dimaksud dengan “independent personal service”, pada umumnya adalah pemberian
jasa yang berkaitan dengan keahlian tertentu, seperti ilmuwan, kegiatan
pengajaran, dokter, ahli hukum, akuntan, arsitek.
Sebagai contoh, pembayaran dividen oleh PT
A yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan di Hongkong yang merupaka
“permanent establishment” dari perusahaan yang berdomisili di Jepang, maka
penerima yang berhak adalah perusahaan di Jepang. Jadi yang dipergunakan adalah
perjanjian dengan negara Jepang.
penghasilan
yang tidak dikenakan pajak dinegara sumber, yaitu Penghasilan-penghasilan
yang akan dikenakan pajak oleh negara tempat kedudukan subyek adalah:
yang akan dikenakan pajak oleh negara tempat kedudukan subyek adalah:
- Royalty
yang diperoleh dari harta tak berwujud;
- Keuntungan
yang diperoleh dari pengalihan saham dan surat berharga;
- Penghasilan
pension dari sector swasta;
- Penghasilan
diperoleh para mahasiswa yang sedang menyelesaikan pendidikan.
Bab 5 menguraikan tentang
pembatasan wewenang mengenakan pajak
Dalam Bab 3 dan Bab 4
perjanjian penghindaran pajak telah dirumuskan pembatasan wewenang pengenaan
pajak, yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:
- Negara domisili subyek berwewenang sepenuhnya untuk mengenakan pajak terhadap penghasilan yang diperoleh dari royalty atas harta tak gerak, pengalihan saham atau surat berharga.
- Negara sumber mempunyai hak yang terbatas untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang tersebut pada kelompok a dan kelompok b.
Adapun
metoda yang disarankan dipakai dalam menghindarkan pengenaan pajak ganda adalah
metoda tax exemption dan metoda tax credit. Dalam beberapa perjanjian
diterapkan pula metoda tas sparing (umumnya dalam perjanjian antara negara maju
dengan negara yang sedang berkembang)
Uraian dalam bab 6; Umumnya menetapkan
ketentuan khusus seperti bantuan administrasi dan pertukaran informasi, peranan
pejabat yang berwewenang (“competent authority”) untuk memberiakan penjelasan
tertentu dalam hal terdapat kemungkinan wajib pajak terkena ketentuan yang
tidak diatur adalam perjanjian. Dalam bab tersebut ditekankan pula hak-hak
kekebalan terhadap pengenaan pajak oleh host country bagi para pejabat
diplomatic dan para konsul
Bantuan
Administrasi dan Pertukaran Informasi
Dalam perjanjian penghindaran pajak ganda
selalu terdapat pasal yang mengatur pertukaran informasi antar negara yang
mengadakan perjanjian. Informasi tersebut berkenaan dengan segala sesuatu yang
diperlukan dalam menerapkan perjanjian tersebut dan hanya dipakai sesuai dengan
maksud dan tujua yang termasuk dalam perjanjian dalam rangka melaksanakan
ketetapan perpajakan di masing-masing negara. Pertukaran informasi dapat
dipakai untuk menghindarkan kemungkinan lolosnya pengenaan obyek pajak (“Tax
avoidance” dan “tax evasion”) oleh subyek pajak.
Sebagai
contoh:
- Indonesia mengirimkan ke treaty partners bukti pemotongan PPh pasal 26 dan sebaliknya Indonesia telah menerima data berupa bukti pemotongan pajak penghasilan.
- Untuk menghindarkan penyeludupan pajak melalui pertukaran informasi Indonesia dapat meminta informasu mengenai kebenaran harga jual di luar negari.
Saat Berlakunya Perjanjian
Pada Bab 7 diatur saat
berlakunya perjanjian dan kewajiban setiap negara yang mengadakan perjanjian
untuk memberitahukan kepada pihak lain dalam hal terjadi pembatalan perjanjian.
Perjanjian
penghindaran pajak berganda baru berlaku secara efektif setelah dilakukan
pengesahan perjanjian oleh Kepala Negara (“ratifikasi”) dari masing-masing negara.
Contoh
:
Perjanjian
dengan negara Amerika Serikat ditanda tangani pada tahun 1988, dan mulai
berlaku efektif pada tahun 1991.
Pelaksanaan Pemotongan
Pajak
Sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1994, wajib pajak dalam negeri yang membayar
penghasilan yang berhubungan dengan pekerjaan, imbalan atas kegiatan pemberian
jasa, maupun imbalan yang berhubungan dengan pemakaian harta kepada wajib pajak
luar negari wajib memotong PPh.
Tarip pemotongan yang berlaku adalah
tarip yang telah disetujui bersama dalam perjanjian dengan negara “treaty
partner”. Untuk meyakinkan besarnya tarip pemotongan, maka para pemotong wajib
minta “ Surat Keterangan Tarip (SKT)” atau “Surat Keterangan Bebas (SKB)” ke
Kantor Pelayanan Pajak, disertai dokumen-dokumen yang mendukung permonan
tersebut, misalnya surat keterangan tempat tinggal (certificate of domicile),
yang diterbitkan oleh pejabat berwenag (“competent Authority”) di negara asal
subyek, untuk pembayaran bunga pinjaman (“loan agreement”), surat keterangan
dari emiten (pembayaran dividen) mengenai subyek yang berhak menerima dividen,
dan sebagainya.
Konsep Anti Tax Avoidance.
Perusahaan yang saling berhubungan /
ada hubungan istimewa ( related parties atau affiliated parties) sering
mengatur harga yang menyebabkan harga kurang wajar atau kurang lazim (
arm’s length principle) dengan motif melakukan tax avoidance.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) dan
(3A) UU Nomor 36 Tahun 2008 dan Permenkeu Nomor 160/PMK.04/2010 untuk Bea
Masuk, dua atau lebih perusahaan yang saling berhubungan disebut mempunyai
hubungan istimewa antara lain apabila :
·
Kepemilikan saham minimal 25 %;
·
Pengendali perusahaan berada di
tangan satu keluarga;
·
Yang merupakan satu group dari satu
keluarga;
·
Penguasaan teknologi yang dipakai
dalam proses produksi;
·
Keterkaitan perusahaan merupakan
sinergi / integrated system;
·
Hubungan sebagai pekerja dan pemberi
kerja;
·
Secara bersama dikendalikan atau
mengendalikan pihak lain yang sama
·
Dikenal sebagai partner kerja /
rekan dagang.
Transfer pricing yang
dilakukan melalui Tax avoidance dapat berupa :
- Penjualan, pengalihan, pembelian, atau peralihan barang berwujud maupun barang tidak berwujud ( intangible goods);
- Sewa, royalti atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan / pemanfaatan harta berwujud dan tidak berwujud;
- Penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa;
- Alokasi biaya;
- Penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrument keuangan dan penghasilan / pengeluaran yang timbul akibat penyerahan harta dalam bentuk instrument tersebut.
Konsep untuk melakukan
penghindaran tax avoidence tersebut antara lain :
Menentukan nilai yang wajar atau
yang lazim dengan :
1) Metode harga sebanding (
comparable uncontrolled price= CUP);
2) Metode harga jual kembali (
resale price methode = RPM);
3) Metode harga pokok plus (
cost plus methode = CPM );
4) Metode laba bersih transaksional (
transactional net margin methode = TNMM );
5) Metode pembagian laba
berupa indikator tingkat laba( profiit level indicator) atau
laba bersih operasi ( net operating profit).
Treaty
Shopping dan pencegahan penyalahgunaan P3B
Treaty Shopping adalah salah
satu bentuk penyalahgunaan P3B,
dimana seseorang bertindak melalui suatu entity di negara mitra lainnya dengan tujuan
hanya untuk memanfaatkan keuntungan yang ada dalam P3B, yang sebenarnya tidak
dapat dimanfaatkan oleh seseorang tersebut. Entitas tersebut sering disebut
perusahaan cangkang atau special
porpose vehicle (SPV).
Kriteria sebuah transaksi digolongkan sebagai penyalahgunaan P3B yang memuat persyaratan beneficial owner (BO) :
- Transaksi
tersebut tidak mempunyai substansi ekonomi dan semata-mata untuk memperoleh
manfaat P3B;
- Transaksi
yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic
substance) dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
- Penerima
penghasilan bukan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis penghasilan (beneficial
owner/BO).
Persyaratan tidak terjadinya penyalahgunaan P3B dalam hal Wajib Pajak Luar Negeri merupakan orang
pribadi yang tidak bertindak
sebagai Agen atau Nominee.
Sedangkan
persyaratan tidak terjadinya penyalahgunaan P3B dalam hal Wajib
Pajak Luar Negeri merupakan Wajib Pajak badan :
pertama:
Wajib Pajak Luar Negeri merupakan perusahaan yang sahamnya terdaftar di
Pasar Modal (listed company) dan diperdagangkan secara teratur;
kedua :
bagi penghasilan yang di dalam P3B
terkait tidak memuat
persyaratan beneficial owner, Wajib
Pajak Luar Negeri menjawab bahwa pendirian perusahaan di Negara Mitra P3B
atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B.
- pendirian perusahaan di Negara Mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
- kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
- perusahaan mempunyai pegawai yang memadai; dan
- mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
- penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
- tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti: bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
Kewajiban Pemotong/Pemungut Pajak dan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dalam pelaksanaan P3B
Pemotong/Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal:- penerima penghasilan bukan Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia;
- persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan dan penyalahgunaan P3B.
- Apabila ketentuan tersebut diatas tidak dapat dipenuhi, Pemotong/ Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
CONTROLLED FOREIGN COMPANY (CFC)
Controlled
Foreign Corporation adalah
perusahaan yang berkedudukan di luar negeri (offshore company) yang
kepemilikannya dikuasai oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.
CFC dibuat sebagai alat untuk menangguhkan kewajiban pajak atas penghasilan dari operasi perusahaan tersebut dengan cara menangguhkan pendistribusian dividen ke pemegang saham.
Untuk
menghadapi penghindaran pajak tersebut, Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan menjelaskan bahwa :
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut :
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut :
- besarnya penyertaan modal Wajib Pajak Dalam Negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
- secara bersama-sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
Saat
diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak tersebut adalah ditentukan sebagai
berikut:
1. pada
bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat
pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut
untuk tahun pajak yang bersangkutan; atau
2. pada
bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri
tersebut tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan
tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian
surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan.
Sedangkan besarnya dividen yang wajib
dihitung oleh Wajib Pajak Dalam Negeri adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi haknya
terhadap laba setelah pajak
yang sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain
badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, kecuali dividen tersebut telah
dibagikan oleh perusahaan luar negeri sebelum batas waktu yang ditentukan dalam
peraturan dan atas penghasilan tersebut wajib dilaporkan oleh Wajib Pajak di Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh-nya untuk tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.
Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Ketentuan ini menerangkan bahwa pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang PPh dalam tahun pajak yang sama, dan besarnya kredit pajak tersebut adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang PPh.
SPECIAL PURPOSE COMPANY
Special
Purpose Company adalah
adalah sebuah perusahaan dengan tujuan atau fokus yang terbatas. Perusahaan ini
dibentuk oleh suatu badan hukum untuk melakukan aktivitas khusus atau bersifat
sementara.
Perusahaan
ini biasanya, walaupun tidak perlu, dikuasai hampir sepenuhnya oleh badan hukum
yang menjadi sponsornya. SPC dapat digunakan sebagai suatu saluran (conduit)
dalam menghindari pembayaran pajak atas penghasilan yang diperoleh dengan cara
mendirikan perusahaan di salah satu Negara Mitra P3B (treaty shopping).
Tujuan
pembentukan SPC tersebut tidak selalu untuk mendapatkan harga saham atau aktiva
di bawah harga pasar, yang paling sering adalah sebagai perusahaan “bentukan”
untuk memanfaatkan dan menikmati fasilitas perpajakan yang disediakan dalam P3B
antara Indonesia dengan Negara Mitra.
Pasal 18 ayat (3b) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan:
“Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.”
Peraturan
tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 140/PMK/2010 yang
menjelaskan bahwa pembelian saham atau aktiva Wajib Pajak badan dalam negeri
oleh suatu pihak atau badan yang dibentuk khusus untuk maksud demikian (special
purpose company) dapat ditetapkan sebagai pembelian yang dilakukan oleh
Wajib Pajak Dalam Negeri.
Walaupun
dilakukan oleh SPC tetapi sebenarnya yang melakukan pembelian dimaksud Wajib
Pajak Dalam Negeri sepanjang Wajib Pajak Dalam Negeri yang ditetapkan sebagai
pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut mempunyai Hubungan Istimewa
dengan pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham
atau aktiva perusahaan (special purpose company); dan terdapat ketidakwajaran
penetapan harga pembelian.
Sedangkan saham yang dimaksud adalah :
- Saham atau aktiva yang sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang; atau
- Aktiva yang merupakan aset kredit (piutang) kepada Wajib Pajak Dalam Negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang.
Penjualan atau pengalihan saham SPC
Pasal
18 ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan :
“Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindung pajak (tax haven country) yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.”
Peraturan
tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 258/PMK.03/2008 yang
menjelaskan bahwa atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara tersebut dikenakan PPh final sebesar 20% dari penghasilan
netto yaitu 25% dari harga jual.
Apabila
saham tersebut dibeli oleh Wajib Pajak Luar Negeri, maka pihak yang ditunjuk
sebagai pemungut pajak adalah badan yang didirikan atau berkedudukan di
Indonesia yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar
Negeri di luar Bursa Efek; dan harus mencatat akta pemindahan hak atas saham
yang dijual.
MUTUAL AGREEMENT
PROCEDURES (MAP)
Mutual
Agreement Procedure (MAP)
merupakan alternatif bagi Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa yang
menimbulkan pemajakan berganda, atau apabila terdapat indikasi bahwa tindakan otoritas Negara Mitra
menyebabkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B.
Wajib
Pajak dapat mengajukan permohonan asistensi kepada Direktur Jenderal Pajak
sebagai Competent Authority atas sengketa yang timbul dari pemajakan
berganda dengan Negara Mitra P3B antara lain berasal dari penyesuaian akibat
koreksiTransfer Pricing,
permasalahan berkaitan dengan keberadaan BUT (permanent establishment),
karakterisasi atas suatu penghasilan, tindakan lain yang tidak sesuai dengan
peraturan dalam P3B.
MAP dilaksanakan dalam hal terdapat :
1.
permintaan yang diajukan
oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
2.
permintaan yang diajukan
oleh Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara
Mitra P3B sehubungan dengan ketentuan non diskrimasi (non-discrimination)
dalam P3B yang berlaku;
3.
permintaan yang diajukan
oleh Negara Mitra P3B; atau
4.
hal yang dianggap perlu
oleh dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak.
Jangka waktu pengajuan permohonan MAP diatur berdasarkan P3B yang berlaku dengan Negara Mitra.
Permintaan MAP yang
diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
Permintaan
untuk melaksanakan MAP yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri dilakukan
antara lain dalam hal:
- Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan pajak atau akan dikenakan pajak karena melakukan praktik Transfer Pricing sehubungan adanya transaksi dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang mempunyai Hubungan Istimewa;
- Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan keberadaan atau penghasilan Bentuk Usaha Tetap yang dimiliki oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia di Negara Mitra P3B;
- Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan pemotongan pajak di Negara Mitra P3B; atau
- Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang juga merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B meminta pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP untuk menentukan status dirinya sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri dari salah satu negara tersebut.
Permohonan pengajuan MAP sekurang-kurangnya memuat:
- nama, alamat, dan kegiatan usaha Warga Negara Indonesia yang mengajukan permintaan;
- tindakan atau pengenaan pajak yang telah dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B yang dianggap lebih berat dibandingkan dengan tindakan atau pengenaan pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B dimaksud kepada warga negaranya sendiri;
- Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan;
- pihak yang dapat dihubungi oleh Direktur Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut atas permohonan yang telah disampaikan oleh yang bersangkutan; dan
- nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh yang bersangkutan.
DJP dapat menolak permohonan Wajib Pajak apabila:
- permintaan disampaikan setelah melewati batas waktu penyampaian sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku dengan Negara Mitra;
- Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan keberatan dimaksud; atau
- Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan Banding dimaksud;
ADVANCED PRICING AGREEMENT (APA)
Kesepakatan
Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian antara
Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/ atau otoritas pajak negara lain
untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan Harga Wajar atau
Laba Wajar dimuka para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Kriteria-kriteria
tersebut diantaranya penentuan metode Transfer
Pricing dan faktor-faktor
yang digunakan dalam analisis asumsi kritikal (critical assumptions).
Tujuan Kesepakatan Harga Transfer adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahan Transfer Pricing. Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Tujuan Kesepakatan Harga Transfer adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahan Transfer Pricing. Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa:
“Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerjasama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.”
Keuntungan dari Advance
Pricing Agreement (APA)
selain untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak,
Fiskus tidak perlu lagi melakukan koreksi dalam pemeriksaan atas harga jual dan
keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang
sama. APA dapat bersifat unilateral,
yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak
atau bilateral, yaitu
kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang
menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak domisili untuk melakukan pembicaraan awal (prelodgement) menggunakan formulir APA-1 dengan melampirkan persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku.
Tahapan pembahasan APA:
Pembicaraan awal (prelodgement
meeting) antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak;
- penyampaian permohonan formal Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pembicaraan awal;
- pembahasan Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak;
- penerbitan surat Kesepakatan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
- pelaksanaan dan evaluasi Kesepakatan Harga Transfer
Pembahasan dan Topik yang dibahas dalam APA antara lain:
- ruang
lingkup transaksi dan Tahun Pajak yang akan dicakup oleh Kesepakatan Harga
Transfer;
- Analisis
Kesebandingan, pemilihan dan penentuan data pembanding;
- penentuan
metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
- kondisi
dan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan metode Penentuan Harga Transfer;
dan
- perlu
atau tidaknya diadakan Kesepakatan Harga Transfer dengan negara/jurisdiksi
lain.
Dalam hal Wajib Pajak menganggap bahwa Kesepakatan Harga
Transfer dapat menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda, Wajib Pajak
dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak
untuk mengadakan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP)
dengan otoritas pajak dari negara/jurisdiksi mitra P3B.
Tindak lanjut pelaksanaan hasil
APA
Kesepakatan Harga Transfer
dapat diberlakukan untuk Tahun Pajak sebelum Kesepakatan Harga Transfer
disepakati sepanjang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
untuk Tahun Pajak dimaksud belum pernah dilakukan pemeriksaan; belum pernah
diajukan keberatan atau banding oleh Wajib Pajak; dan tidak terdapat indikasi
tindak pidana di bidang perpajakan.
Dalam pelaksanaan hasil
Kesepakatan Harga Transfer, Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan tahunan (annual
compliance report) yang menggambarkan kesesuaian pelaksanaan Kesepakatan
Harga Transfer dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak kepada Kepala KPP Domisili
paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Yang didalamnya
memuat:
1. kepatuhan
Wajib Pajak menerapkan metode Penentuan Harga Transfer dalam transaksi yang
dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer;
2. penjelasan
rinci mengenai keakuratan dan konsistensi penerapan metode Penentuan Harga Transfer;
dan
3. penjelasan
rinci mengenai keakuratan faktor-faktor yang mempengaruhi (critical
assumptions) penerapan metode Penentuan Harga Transfer.
RANGKUMAN
1. Setiap
negara berhak untuk mengenakan pajak terhadap penduduknya maupun terhadap orang
asing yang berada diwilayah negara tersebut berdasarkan asas-asas pemungutan
pajak yang dianut.
2. Pengenaan
pajak terhadap orang asing hanya dapat dilakukan sepanjang terdapat hubungan
ekonomis dengan negara yang bersangkutan.
3. Wewenang
untuk mengenakan pajak terbatas pada wilayah kedaulatan negara, terbatas oleh
kebiasaan-kebiasaan yang diakui didunia Internasional, dan dibatasi pula oleh
asas eksteritorial.
4. Keterbatasan
wewenang negara dalam memungut pajak, dan dianutnya berbagai asas pemungutan
pajak oleh hamper seluruh negara didunia, serta perubahan perekonomian dunia
dan adanya berbagai perjanjian antara negara seperti GATT telah mendorong
timbulnya konflik dalam pemungutan pajak antar negara, timbulnya upaya
menghindarkan pengenaan pajak dan menimbulkan pengenaan pajak ganda, sehingga
diperlukan adanya hukum pajak Internasional untuk menghindarkan bentrokan dalam
pemungutan pajak.
5. Berbeda
dengan hukum Internasional lainnya, dalam hukum pajak Internasional
penyelesaian konflik yuridiksi diselesaikan melalui perjanjian pajak antara
negara, baik secara bilateral maupu multilateral.
6. Pajak
ganda dapat dihindarkan secara unilateral maupun secara bilateral dan
multilateral.
7. Perjanjian
penghindaran pajak ganda merupakan upaya untuk mencegah pengenaan pajak ganda,
mencegah penyeludupan pajak, dan memperlancar terjadinya alih tekhnoligi antara
negara maju dan negara berkembang.
Bagi yang mampu berpikiran jernih setelah jadi BMI pasti sukses, pada dasarnya di perantauan cari modal dulu dan bekerja yg baik sampai kontrak finis, oh iya tidak lupa sy ucapkan terima kasih banyak kpd teman sy yg ada di singapura..! berkat postingan dia di halaman facebook TKI Sukses sy baca. sy bsa kenal nma nya Mbah Suro Guru spiritual PESUGIHAN ANKA GHAIB TOGEL 2D sampai 6D dan PESUGIHAN DANA GHAIB. . pikir-pikir kurang lebih 7 tahun kerja jd Tkw di Hongkong hanya jeritan batin dan tetes air mata ini selalu menharap tp tdk ada hasil sm sekali. Mana lagi dapat majikan galak. salah sedikit kena marah lagi . Tiap bulan dapat gaji hanya separoh saja . . itu pun tdk cukup biaya anak di kampung. Tp sy beranikan diri tlpon nmr beliau untuk minta bantuan nya. melalui PESUGIHAN DANA GHAIB Nya . syukur Alhamdulillah benar2 terbukti sekarang. terima kasih ya allah atas semua rejeki mu ini. Sy sudah bs pulang ke kmpung halaman buka usha skrg. jk tman minat ingin tlpn beliau . ini nmr nya +62 82354640471 & 082354640471 siapa tau anda bisa di bantu dan cocok sprti sy . aminn
BalasHapus